24 Hours in Jogja

Pukul 23.57 WIJ (waktu Indonesia bagian Jogja) kereta api Malabar express telah suksess memarkirkan seluruh rangkaian gerbongnya di stasiun tugu Jogja. Saatnya aku turun…
Setelah menunggu beberapa detik lamanya sambil memperhatikan kereta-kereta berhilir mudik dengan asyiknya (kayak banyak-banyak’o keretae), akhirnya jemputanku datang juga. Senangnyaaa,.. ada temannya lagi. Setelah kurang lebih 8 jam sendirian di kereta. Alhamdulillah… 

Berkeliling sebentar di Malioboro, cukup ramai untuk ukuran jam 12 malam lebih sedikit, thunder hitam itu akhirnya memilih untuk memarkirkan dirinya di alun-alun selatan kota jogja.

Iseng-iseng gak berhadiah, masuklah aku ke dalam gedung budaya yang ada di sebelah utara alun-alun tersebut, dan ternyata sedang ada pertunjukan wayang. Luar biasa, karena itu baru pertama kalinya aku nonton pertunjukan wayang secara langsung. Sempat excited di menit-menit pertama, sambil mengambil beberapa gambar dan tertawa-tawa kecil melihat apa yang ada dihadapanku. Entah apa alasannya aku tertawa, namun kurasa bukan karena pertunjukannya yang lucu, tapi lebih karena perasaan senang yang luar biasa karena punya kesempatan melihat pertunjukan langka seperti itu (langka menurutku maksudnya). Tapi ternyata hal tersebut tidak berlangsung lama, karena semakin menit-menit berlalu, semakin aku tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Bapak Dalang, dan semakin membulatkan tekadku untuk melangkah keluar dari ruangan itu. Cukuplah sudah aku melihatnya barang beberapa menit, dan itu sudah menjadi pengalaman yang luar biasa menurutku.

Berkeliling alun-alun selatan kota, sambil memperhatikan tingkah berbagai macam orang, serta becak-becak dan sepeda gowes yang berhias lampu warna-warni (seingatku ada istilah khusus untuk itu, tapi aku lupa), cukup menyita perhatianku dan mengurangi sedikit penatku. This is what I’m looking for.. insyaAllah…
Dan hal ini berlangsung selama beberapa jam. Aku lupa tepatnya berapa lama, pastinya, saat memutuskan untuk meninggalkan tempat duduk dari bambu yang sangat nyaman itu, jam ditanganku sudah menunjukkan angka 3.

Sempat berkeliling sebentar, melewati kali code dan angkringan yang terkenal disekitarnya, lalu melewati the house of Raminten juga (sebenarnya diajakin mampir, tapi gak tau kenapa rada’ ogah diriku), kami memutuskan untuk pulang. Pulang?? ke Malang?? Nggak lah,.. ke kontrakannya temen, ya si empunya thunder hitam ini. Hehe...

Jam tujuh pagi aku sudah mulai bisa membuka mata, masih pengen tidur sebenarnya. Tapi mikir juga sih, sayang banget jauh-jauh ke Jogja cuma buat tidur. Setelah mandi dan sedikit dandan (kayak cewek ae!!!) tujuan pertamaku pagi itu adalah sunmor, yang merupakan kependekan dari Sunday morning—kalau di Malang siy nyebutnya Pasar Minggu—yang berlokasi di sepanjang kompleks kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Kesan pertama:crowded! Banyak banget orangnya, banyak juga yang jualan, ditambah lagi dengan masih diperbolehkannya kendaraan-kendaraan lewat, bahkan kendaraan segede bis mini pun ada. Wewww..

Setelah menunggu beberapa menit sambil memperhatikan sekeliling di depan gedung FISIP UGM, sosok yang ku tunggu datang juga akhirnya, dengan tampang seperti orang baru bangun tidur (padahal katanya baru mandi). Diajak berkeliling sebentar, sambil menikmati kekacauan yang ada di sunmor, aku melihat berbagai macam orang, mulai dari orang berjualan, orang membeli makanan, orang bersepeda, orang makan, orang ngobrol, orang lagi jogging, orang mainan ular, orang-orangan, macam-macamlah pokoknya. Setelah itu, aku diajak sedikit berkeliling UGM. Dan kami bertiga akhirnya memutuskan untuk ngetem di depan Grha Sabha Pramana. Mungkin sejenis Sakri kalau di UB.

Setelah mengajak seorang teman lagi, kemudian kami menuju kearah utara, lurus terus melewati jl. Kaliurang dan terus naik keatas sampai kami tiba di “wisata erupsi merapi”, yah, kurang lebih judul yang ada di karcis masuknya seperti itu. Luar biasa yah, ini baru yang namanya musibah membawa berkah.

Ada apa saja disana? Banyak. Tapi yang paling sering kutemukan adalah orang sedang mengambil gambar, gambar apa saja, termasuk sisa ranting dan dahan pohon yang sudah gosong dan berwarna abu-abu, dan hal itu juga terjadi padaku. Hahhay…






Setelah dari merapi, singgah sebentar di masjid untuk absen, selanjutnya tempat yang aku kunjungi adalah tempat makan, yang namanya kalo gak salah Niki Ramen. Blesteran jawa-jepang ceritanya, dan memang benar, didalamnya nuansa jepang kerasa banget. Mulai dari pelayannya yang pake kimono (kimono jadi-jadian, soalnya seadanya saja, coba pake kimononya diniatin, pasti keren, dan dijamin bakal kepanasan,hahaha..), tv iklan yang benar-benar Cuma nayangin iklan—tapi iklan jepang, serta menu makanan yang ditawarkan yaitu berbagai macam modifikasi mie ramen. Kalau minumannya gak seberapa dijepang-jepangin siy, buktinya kita masih bisa pesan es teh atau es jeruk, padahal setauku orang jepang minum tehnya sore hari, dan bukan sebagai minuman setelah makan.

Sore itu Jogja sedikit basah, apa lagi kalau gak karena hujan, dan aku sempat hujan-hujanan juga sih pas dalam perjalanan menuju ke stasiun. What???stasiun???sudah mau pulang???begitu doank di Jogjanya???katanya 24 jam, piye toh???hahaha… aneh rasanya mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri. Gak lah, ke stasiun tujuannya untuk pesan tiket pulang, tapi pulangnya masih nanti-nanti, tenaaaaang, masih banyak tempat yang belum ku kunjungi.

Kalau ke jogja tapi gak ke malioboro jadi gimanaaa gitu rasanya. Yasudah, biar gak gimana-gimana, akhirnya aku memutuskan untuk ke malioboro. Kembali, kekacauan yang kulihat. Apalagi saat itu bertepatan dengan hari minggu. Lalu aku masuk ke mirota batik. Awalnya hanya melihat-lihat saja, setelah itu memegang, dan bertanya-tanya ini buat apa, itu buat apa, lalu berpikir lebih jauh lagi, ini bikinnya gimana, kalau di cat kok ya niat betul yang ngecat, kalau dari bahan alami terus bahannya apa, tapi terlalu rapi kalau memang aslinya seperti itu… pemikiran-pemikiran semacam itulah, dan hampir semua barang di lantai 2 toko itu kami—aku dan temanku—perlakukan sama. Ujung-ujungnya, kami meletakkan barang-barang itu kembali ketempatnya, dan beralih ke rak-rak barang yang lain.hahaha…

Next, alun-alun utara. Pengennya singgah di benteng Vredeberg (tolong dikoreksi kalau nulisnya salah), namun sayangnya halte trans-jogja cukup menyita perhatianku. Dan akhirnya kami putuskan untuk naik trans-jogja. Kemana? Gak tau.
Berputar-putar keliling jogja, awalnya berdiri, lalu dapat tempat duduk, lalu transit pindah bis, berdiri lagi, lalu duduk lagi, dan sampailah di halte tempat kami naik tadi. Saatnya turun. Sempat berjalan-jalan disekitar situ, selanjutnya aku memutuskan untuk pulang.

di jalan, kami melewati semacam benteng yang ada lampu merahnya, tapi bisa kupastikan jaman dulu bentengnya saja yang ada disana. Lalu, singgah sebentar di rumah Bpk Bernard (seingatku nama beliau seperti itu, mohon dikoreksi kalau salah juga) yang ada di Jl. Jogokaryan. Beliau adalah seorang pelukis dan pembuat wayang, yang belajar secara otodidak. Lukisan yang dibuat juga tidak jauh dari tokoh-tokoh pewayangan. Satu yang cukup menyita perhatianku, dibagian pojok ruang tamunya terdapat wayang berwarna silver (sepertinya dari aluminium, bukan dari kuningan seperti biasanya) setengah jadi yang berukuran setinggi diriku, atau mungkin lebih besar lagi kalau sudah jadi nanti.

Sampai di kontrakan teman, aku membereskan semua perlengkapanku, karena malamnya, tepat pukul 23.59 WIJ, kereta api Malabar express kembali akan membawaku ke Malang. Setelah mengobrol cukup lama dengan temanku, dengan tema yang beranekaragam, mulai dari bagaimana membaca (baik jenis bacaan maupun tingkat keseringan) amat sangat mempengaruhi pemikiran seseorang, bagaimana suatu hal bisa dianggap penting bagi seseorang namun benar-benar remeh bagi orang lain, bagaimana ini, bagaimana itu, dan seterusnya, tepat jam 11 malam aku memutuskan untuk berangkat ke stasiun.

Kereta yang aku naiki sedikit terlambat, mungkin sekitar 15 menit, namun akhirnya datang juga. Dan, sudah saatnya pulang. Sudah saatnya kembali ke dunia nyata. Sudah saatnya menyelesaikan masalah yang telah tertunda selama 24 jam ini. Sudah saatnya untuk memberi tahu seseorang—atau beberapa orang tentang kepergianku. Sudah saatnya melambaikan tangan kepada temanku yang kutinggal sendirian di stasiun—semoga dia ingat jalan pulang, hehe,.. sudah saatnya. Yah,.. sudah saatnya menyelesaikan semuanya dan memulai yang baru. Seperti kata Ray, gadis berusia 8 tahun di film Uptown Girl, setiap kisah pasti punya akhir, tapi dalam kehidupan, sebuah akhir adalah awal dari yang lain. Bismillah…

Comments

Popular Posts