Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 2)
Cerita sebelumnya:
Pendakian Tambora 2014 (part 1)
Sebagian barang bawaan
kami bongkar. Siang itu kami memasak sup sayuran dengan tambahan sosis serta
ayam bakar. Menu ini memang sudah kami siapkan juga, dan sengaja kami pilih
yang penyajiannya cepat karena Pos 2 ini hanya persinggahan sebelum melanjutkan
ke pos berikutnya. Lagi-lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya memasak
nasi menggunakan nesting. Awalnya sudah khawatir kalau-kalau nasinya mentah.
Dulunya sering sih masak nasi, tapi ya begitu, kadang masak kadang tidak.
Hahaha… *gak bakat*. Namun akhirnya kawan-kawan bisa memaklumi, dan dua buah
nesting penuh dengan nasi yang bagian atasnya masih agak mentah tersaji juga.
Selamat makaaannn :D
Selepas makan malam
dimana lagi-lagi saya bertugas memasak nasi—dan syukurnya hasilnya sudah jauh lebih
baik, saya memutuskan untuk beristirahat di dalam tenda. Kaki saya masih nyeri.
Seorang kawan saya minta untuk memijat kaki saya, berharap keesokan harinya
kondisinya akan lebih baik.
Pendakian Tambora 2014 (part 1)
Peristirahatan di Pos 2 |
Jam 2 siang, kami kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini rutenya dibuka dengan menyeberangi sungai
kecil, kemudian langsung menanjak melewati bukit di seberang sungai. Jalannya
sangat sempit, licin, juga terjal. Butuh waktu lama untuk melewati ‘sesi
pembuka’ menuju Pos 3 itu.
Nyeri di kaki saya makin
tidak tertahankan. Akhirnya lambat laun saya menjauh dari rombongan yang lain.
Hanya ditemani seorang kawan lama yang sudah biasa juga meladeni gaya jalan
saya yang seperti siput. Tapi sungguh, hari itu memang bukan karena lelah,
karena jika lelah masih bisa dipaksa. Beneran sakit itu kaki sebelah kiri. Dan
itu sangat menyebalkan kawan! Akhirnya saya beranikan diri saja untuk
menyampaikan keadaan saya yang sebenarnya. Untungnya kawan seperjalanan saya
mengerti, dan tidak memaksakan berjalan terlalu cepat.
“Yang penting naik
gunung, yang penting jalan, yang penting sampai…”
Beberapa kali tanjakan
dan beberapa kali dataran kami lalui, namun tak ada tanda-tanda kerapatan hutan
akan berkurang. Di sisi lain, rekan yang lain sudah khawatir hari akan segera
gelap. Akhirnya, saat itu salah seorang kawan memutuskan untuk menyuruh dua
orang ranger dan satu orang anggota kami untuk berjalan terlebih dahulu menuju
Pos 3. Setelah itu, begitu sampai, dua dari mereka diharapkan bisa kembali lagi
kemudian membantu membawakan backpack/carrier kami. Oke baiklah, strategi yang
cukup jitu.
Tinggal saya dan 3 orang
lainnya yang masih serombongan, berjalan pelan-pelan, dengan napas yang sudah
setengah-setengah. Sudah lama 3 orang yang lain menghilang, dan entah apakah
mereka sudah sampai di Pos 3 atau belum.
Ditengah tingginya
ilalang, akhirnya muncul juga sosok yang sejak tadi kami nantikan. Dua orang
ranger, Angga dan Andika telah datang dan langsung menawarkan untuk membawakan
tas kami. Akhirnya saya melanjutkan perjalanan membawa ransel kecil yang sangat
ringan, satu orang tetap membawa ranselnya seperti sebelumnya, satu orang lagi
juga bertukar dengan ransel yang lebih kecil dan ringan, sedang satu yang lain
berjalan tanpa membawa apa-apa. Otomatis hal itu mempercepat langkah kami.
Hingga akhirnya, pada jam 4.30 sore, kami sampai di Pos 3 (1576 mdpl).
Alhamdulillah…
Pos 3 adalah pos yang
paling banyak diminati untuk menginap oleh para pendaki. Di pos ini, selain
lokasinya yang cukup lapang, ada berugaq (bale-bale.red) juga yang bisa
dijadikan tempat peristirahatan, juga ada sumber mata air yang
letaknya sekitar 200 meter ke arah selatan pos.
Kami kemudian membongkar
semua barang bawaan. Mulai mencari lokasi untuk mendirikan tenda dan membuat
api unggun. Di Pos 3 ini, kami bertemu dengan dua rombongan lain yang sudah
sampai terlebih dahulu. Satu diantaranya berencana akan melanjutkan perjalanan
malam itu juga untuk langsung menuju puncak. Sedangkan satu rombongan yang lain
yang hanya terdiri dari 3 orang, memutuskan untuk tetap tinggal dan melanjutkan
perjalanan keesokan harinya. 3 orang ini adalah anak-anak yang baru saja
melaksanakan Ujian Nasional. Jadi ceritanya, mereka melakukan pendakian untuk
merayakan selesainya ujian tersebut—walaupun entah bagaimana nanti hasilnya.
Kita doakan saja yah semoga mereka mendapat hasil ujian yang baik.
Dengan berbagai
pertimbangan (salah satunya adalah ketersediaan tenda kami), akhirnya mereka
ber 3 memutuskan untuk bergabung dengan kami. Yeayyy,. Semenjak di Pos 3,
anggota rombongan kami bertambah menjadi total 10 orang. Makin ramai makin asik
donk yah :D
Hasil bongkar-bongkar backpack dan carrier |
Kebiasaan buruk saya saat
menginap di gunung juga ternyata masih belum terlalu berubah. Selalu mengalami
kesulitan tidur. Ditambah, malam itu ada terror kaki yang nyerinya minta ampun.
Satu-satunya kondisi dimana kaki saya merasa nyaman adalah saat tidak
digerakkan sama sekali. Jika digerakkan, ujung jarinya saja, nyerinya sudah
luar biasa. Pikiran saya sudah kemana-mana semalaman itu. Saya sudah berpikir
bahwa mungkin keesokan harinya saya sudah tidak bisa melanjutkan perjalanan
lagi. Hanya ada dua opsi, apakah saya akan turun sendiri, kemudian menelepon
pak Rian untuk menjemput di Pintu Rimba, atau saya tetap stay saja di Pos 3, sampai menunggu kawan-kawan saya naik ke puncak
dan kembali pada keesokan harinya. Jika saya memakasakan tetap naik, saya takut
nanti saat turun kaki saya sudah tidak mampu lagi digunakan, sehingga harus di
gotong pakai tandu.
Saya juga mengkhawatirkan
keadaan kaki saya yang sungguh tidak seperti biasanya. Saya takut kalau
ternyata ini membuat saya tidak bisa mendaki gunung lagi. Saya masih punya
mimpi ke Rinjani, ke puncak Cartenz. Saya juga masih ingin mengantar Mas ke
Semeru, minimal ke Ranu Kumbolo. Saya masih belum ke Gede-Pangrango, juga
Kerinci. Duuh,. Saya masih ingin naik gunung… :( *beneran lebay yah ini. Hahaha*
Sabtu, 19 April 2014
Saya usahakan bangun
lebih pagi. Berharap saya punya waktu lebih untuk membiasakan kaki berjalan.
Namun nyerinya masih juga tidak hilang. Saya paksakan untuk tetap beraktifitas
seperti biasa, masak, mulai berbenah, membersihkan diri, dan lain sebagainya.
Sepagian itu, baru satu orang teman yang mengetahui kondisi saya yang
sebenarnya. Sampai pada akhirnya saat saya berjalan, seorang kawan yang lain
menanyakan keanehan cara saya berjalan.
Yes, akhirnya tidak bisa
ditutupi lagi, dan saya menyampaikan semuanya, mengenai kondisi saya. Bersama
yang lain, kami bersepakat untuk melihat kondisi saya nanti. Jika sampai Pos 4
ternyata makin parah, maka rombongan saat itu bersepakat untuk turun. Namun
jika tidak, berarti rencana akan kembali seperti semula. Saya juga akhirnya
merequest di buatkan tongkat dari kayu, untuk menopang saya berjalan. FYI saja,
hal ini belum pernah saya lakukan sebelumnya. Se-lelah-lelahnya saya, saya
tidak pernah menggunakan tongkat! Tapi demi hari itu, apapun akan saya lakukan.
Oke, mendadak usia saya menua sekian tahun. Udah berasa nenek-nenek gitu dehhh… :))
Pose dulu di Pos 3 sebelum lanjut nanjak :D |
Cerita selanjutnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 3)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 4)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 5)
wow mantabh....
ReplyDeletependaki gunung...
saya saja gak suka mendaki gunung...
Cobalah sekali sekali :)
Deleteowh osi ae sam
ReplyDeleteOpo ae min... :))
Delete“Yang penting naik gunung, yang penting jalan, yang penting sampai…” , Yang penting rame-rame :D
ReplyDeletehahha... betul betul betul :-bd
Deletekayak apa rasanya masak di sana, Mae? :D belum pernah naik gunung. hihi
ReplyDeleteEnak! Seruuu! Saya selalu semangat masak kalo di gunung :D
DeleteWaktu kuliah sempet ikutan klub pecinta alam gitu. Tapi begitu diajak naik gunung, eh malah nggak minat. Aku aneh deh
ReplyDeleteHihi... minat orang beda-beda memang ya...
DeleteKayaknya asik ya di sana, kemahan lagi.. Hati2 jangan2 abis darisana ada yg ngikut tuh, hihihi...
ReplyDeletewaduh. jangan sampe dehh
Deletekeren banget......
ReplyDeletejuga maudeh ndaki gunung.....ajak donk kak...
belum tau kapan mau naiik lagi :D
Deletepingin sesekali ikut naik gunung :) kuat gak yaaa aku
ReplyDeleteHarus kuat! ;)
Deletekalau rame2 kayak gitu kayaknya enak. Gak berasa :)
ReplyDeletebetul banget Chi :)
Deletewah seru yah
ReplyDeleteBangettt :)
DeletePake tongkat/trekking pole gak kayak nenek nenek kok mbak, justru tindakan cerdas biar dengkul tetap sehat :D
ReplyDelete