Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 5)
Cerita sebelumnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 1)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 2)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 3)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 4)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 1)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 2)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 3)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 4)
Dan perjalanan turun
gunung pun di mulai. Perjalanan yang tidak kalah beratnya, yang kesemuanya
bertumpu pada kaki. Terror kembali melanda, namun sebisa mungkin saya percepat
langkah selagi serangan rasa sakit masih belum terlalu menyiksa.
Pos demi pos saya lalui
dengan segera. Tanpa istirahat, tanpa berhenti, tanpa minum. Yang ada di kepala
saya hanya berjalan, berjalan, dan berjalan. Hingga akhirnya kami bersepuluh
terpisah menjadi tiga kelompok. Lima orang para ranger di depan, saya bersama
seorang kawan, Pak Haris, di tengah, sedangkan tiga yang lain, Pak Arif, Yuli,
dan Mas Abib di belakang. Kembali memasuki jalur dari Pos 3 ke Pos 2 yang rapat
oleh pepohonan tinggi , hutan rimba, dan hujan deras.
Satu hal yang saya dan
rekan seperjalanan saya yakini bahwa jalur dari Pos 3 ke Pos 2 hanya satu.
Kecil kemungkinan untuk kami tersasar. Jadi saya kembali dan kembali
menyemangati kawan saya, untuk tetap melangkah. Jika berhenti kami akan
kedinginan, akan kelelahan. Jika menunggu yang di belakang akan memakan waktu
lama. Sedangkan sepuluh hingga lima belas menit adalah waktu yang cukup banyak
untuk bisa beristirahat jika kami sampai terlebih dahulu di Pos 2. Sempat ada
kegelisahan saat jalan setapak dan hutan lebat tak ada habisnya. Telinga kami
pasang kuat-kuat, berharap dapat mendengar deru air sungai di tengah hujan
deras.
Setelah melewati bibir
sungai yang terjal dan licin, akhirnya kami sampai juga di Pos 2. Setelah
menghabiskan seluruh bekal kami untuk makan siang—menjelang sore, kami mulai
melanjutkan kembali perjalanan. Saya dan rekan seperjalanan saya sebelumnya
akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan kelompok yang di belakang.
Lebih dari lima belas
menit waktu yang kami habiskan untuk melalui satu-satunya turunan curam berlumut
yang sangat licin diantara Pos 2 dan Pos 1, sepanjang kira-kira 200 meter.
Selebihnya, jalan datar membelah ilalang tinggi yang sesekali menenggelamkan
masing-masing kami, dengan tanaman menjalar yang seringkali membuat kaki tersandung
akibat kelelahan dan langkah gontai yang tak mampu lagi kami kuasai sepenuhnya.
Setelah melewati jalur panjang yang agak gelap, sekalipun masih sore, tiba juga
kami di Pos 1, kira-kira jam setengah 6 petang.
Setelah berhasil
mendapatkan sinyal dan menelepon Pak Rian untuk menjemput kami di pintu rimba, kami
mulai melanjutkan perjalanan. Lupa dimana meletakkan senter, hingga yang
terpakai hanya 3 buah dari 5 orang yang berjalan saat itu. Sebenarnya langit
juga masih cerah, namun hutan rimba berhasil mencegah cahaya alami masuk,
memaksa kami berpasrah pada cahaya senter dan headlamp seadanya. Prediksi salah
seorang kawan yang juga kami mandatkan sebagai guide, Pak Arif, kami akan tiba
di pintu rimba sekitar pukul 8 malam.
Saat itu tepat pukul
setengah 8 malam, Pak Haris di depan, kemudian disusul Yulia, Pak Arif, saya,
kemudian Mas Abib. Saat tiba-tiba Pak Arif meminta Pak Haris untuk menghentikan
langkah saat itu juga. Seketika Pak Arif menyampaikan, kalau jalur yang sedang
kami lalui saat itu bukanlah jalur yang benar. Saya hanya bisa berusaha untuk
tidak panik, ditengah kelelahan yang sangat, serta kaki yang makin tidak bisa
diajak kompromi.
Kami mencoba berpikir, mengobservasi
sekitar, sebisa mungkin, ditengah gelap hutan malam. Kami duduk di atas
bale-bale (semacam bangku kecil dari bambu yang disusun-susun) kecil, yang
berhasil meyakinkan kami kalau itu adalah jalan yang salah—karena saat berangkat
kami tidak menemui benda itu. Berpikir sejenak, hingga akhirnya kami bersepakat
untuk menelusuri kembali jalur dari mana asal kami berasal, sampai Pak Arif
benar-benar yakin kalau kami berada di jalur yang benar.
Entah kami yang saat itu
memang sudah disorientasi medan, atau ada hal lain yang memang mempengaruhi.
Saat perjalanan kembali, kami menemukan pertigaan yang sepertinya sebelumnya
juga tidak ada. Kami kembali bingung bagaimana harus mengambil sikap, sedangkan
ternyata tidak hanya saya, teman-teman yang lain juga sudah mulai kelelahan.
Akhirnya, kami berusaha
untuk mendapatkan sinyal. Menelepon Pak Rian yang harusnya sudah ada di pintu
rimba menunggu kami. Kami ceritakan detail kondisi kami, dan akhirnya beliau
meminta kami untuk berhenti saat itu juga. Duduk disitu, dan tidak boleh berpindah-pindah
lagi. Pertolongan akan segera datang.
Tepat di pertemuan tiga
cabangan, kami duduk melingkar, ber lima. Meluruskan kaki, sambil tetap
berusaha terjaga. Ada seorang kawan yang mulai kelelahan dan hampir tertidur,
namun sebisa mungkin hal itu kami cegah. Kami paksa diri untuk mengobrol
mengobrol dan mengobrol, saling mengingatkan satu sama lain, sekaligus sebagai
bentuk usaha menghibur diri. GPS coba saya nyalakan, namun hanya bisa membaca
arah. Karena lagi-lagi mode tracking
tidak saya aktifkan, sedangkan jalur pendakian Tambora belum ter-update di
peta. Saya hanya bisa menggerutu.
Headlamp sudah kami
aktifkan supaya menyala kedip-kedip. Bahan cerita sudah habis. Kami berlima, di
satu titik yang tidak kami ketahui dimana, hanya bisa berdoa, dan berharap
pertolongan segera datang.
Setelah kurang lebih 45
menit berlalu, akhirnya kami mendengar suara orang berteriak. Kemudian dibalas
oleh Pak Arif. Yapp, salah satu hal yang perlu diperhatikan saat di Gunung
Tambora, kita tidak dianjurkan untuk memanggil nama. Cukup berteriak saja
seperti “Huu..” atau “Hooiii...,” dan warga disana pasti sudah mengetahui
kebiasaan itu. Kami sudah mulai bersemangat, namun tetap memilih untuk duduk
tenang di tempat sampai orang lain yang menghampiri kami. Saya sangat bersyukur
akhirnya bantuan itu tiba. Tak tanggung-tanggung, banyak sekali yang turun
mencari kami. Ada sekitar lima orang lebih. Hingga akhirnya segala bawaan kami,
ransel dan carrier, dibantu dibawakan, dan kami di giring menuju jalan yang
benar.
Alhamdulillah, setelah
berjam-jam perjalanan, akhirnya tepat pukul 11 malam, kami semua sampai di
Pintu Rimba. Ternyata di Pintu Rimba masih banyak yang menunggu kami. Begitu
mereka mendengar kami tersasar, rombongan pendaki yang lain tidak ingin turun,
mereka ingin menunggu dan memastikan kami selamat terlebih dahulu baru pulang
kembali ke rumah masing-masing. Saat itu suasana kekeluargaan sungguh terasa di
diri saya.
Obrolan dengan Mas,
kemarin sore, setelah segala insiden kesasar dan lain sebagainya saya ceritakan
dengan detail, pada akhirnya ditutup dengan,
“Masih mau naik gunung
lagi? Nggak kapok?”
“Enggak, masih pengen kok…
Hehe… ” :D
*
Tambahan informasi:
Update biaya yang
dibutuhkan untuk mendaki gunung Tambora, per April 2014:
Rent car Dompu –
Pancasila (termasuk driver dan bensin sekali jalan): Rp 500.000
Sewa porter (per hari):
Rp 150.000
Perijinan pendakian (per
orang): Rp 10.000
Ojek Pancasila – Pintu
Rimba (sekali jalan) : Rp 30.000
Untuk kawan-kawan yang ingin mendaki gunung Tambora, bisa menghubungi saya untuk informasi lebih detail mengenai contact person di lokasi dan lain sebagainya. Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam Rimba Lestari :)
Untuk kawan-kawan yang ingin mendaki gunung Tambora, bisa menghubungi saya untuk informasi lebih detail mengenai contact person di lokasi dan lain sebagainya. Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam Rimba Lestari :)
Allhamdulilah semua bisa kembali pulang
ReplyDeleteIya mbak,. Alhamdulillah :-bd
Deletekayaknya seru nih naik gunung ke tambora..
ReplyDeletebanget donk :D
Deletembak,..kalo punya rencana mendaki gunung, selalu berbekal berapa duit? punya anggaran khusus ga?
ReplyDeleteBergantung lokasinya dimana mbak, karena biasanya yang bikin membengkak adalah pengeluaran untuk transportasi. Kalo persiapan sebelum naik gunung sih standar aja. Dengan catatan semua peralatan sudah lengkap seperti tenda, sleeping bag, trangia, jaket, rain coat, dll, dan untuk logistik biasanya aku anggarkan minimal 100ribu/orang.
Deleteberarti udah lima kali ya ke Tambora... cewek tapi suka adventure, kerenn! :D
ReplyDeleteDibaca ato gak sih ini tulisanku?
DeleteIni bukan naik gunung yang kelima, dan diatas itu cerita turun gunug. Cerita ke Tambora aku bagi dalam 5 part, karena panjang, dan supaya detail. Sudah paham?
Sepertinya naik gunung bagus nih buat refreshing terutama karena sibuk kerja.. Pengalaman ke Tamboranya sangat menarik.
ReplyDeleteTapi harus cari libur yang panjang :D
Deletehuff deg2an bacanya. Alhamdulillah bisa pulang, ya :)
ReplyDelete:D Makasi atas degdegannya *ehh
DeleteThanks for the story :) Semoga mimpiku mendaki akan tercapai di tahun ini, aamiin :')
ReplyDeleteIzin berbagi blog juga yaa www.evisyahida.com
Thankyou :)
Aaamiiin... :)
Deletethanks kak info nya, sangat membantu, eh mau nanya sekalian, kalo seumpama ga pakek porter bisa gak ya?
ReplyDeletemantap .. kalau melihat ceritanya, yang turun dari pos 1 ke pintu rimba, bukan tersesat. Tapi memang ada percabangan. Mbak naik dari jalur portal/jalur kab Bima .. sementara saat turun mbak pilih jalur yg kiri yang merupakan jalur baru dari Kab Dompu .. Persimpangan jalur ini ada di titik 970 mdpl ... di jalur kab Dompu sebelum pintu hutan memang akan ditemui 2 buah shelter bale-bale ... cmiiw
ReplyDelete