Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 4)

Cerita sebelumnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 1)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 2)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 3)

Minggu, 20 April 2014
Kondisi saya masih sama, tidak bisa tidur. Namun bukan lagi masalah kaki, karena beruntungnya sakitnya sudah mulai berkurang. Ide untuk menempelkan koyo sepertinya cukup manjur, ditambah keberadaan tongkat sakti yang cukup membantu menopang diri. Jam satu pagi, saya bangun. Dari dalam tenda saya mulai bersiap, menggunakan celana panjang dua susun, kaos lengan panjang, kemudian jaket, sarung tangan, headlamp di kepala, kaos kaki, serta bandana untuk menutupi hidung dan mulut.

Saya kemudian menuju samping tenda, yang sebelumnya sudah dipersiapkan peralatan untuk memasak nasi. Diluar masih sepi, gelap, tidak terdengar suara apapun. Angin hanya sesekali berhembus. Ternyata usaha saya untuk menghangatkan diri cukup berhasil, saya tidak terlalu merasakan dingin.

Saya mulai memasak nasi. Target pagi buta itu saya harus memasak tiga panci nasi, yang masing-masing membutuhkan waktu sekitar setengah jam hingga masak. Sepertinya target untuk berangkat jam 2 pagi akan sedikit bergeser. Tapi tidak apalah, dari dulu saya juga tidak pernah berhasil mengejar sunrise dari puncak gunung. Yang penting sampai, itu saja.

Selesai masak nasi yang pertama, ternyata gasnya habis. Terpaksa saya bangunkan rekan yang lain di tenda sebelah untuk meminta gas, yang mengakibatkan dia juga tidak tidur lagi. Saat saya melanjutkan memasak, dia langsung ikut bangun dan mulai menyalakan api unggun. Satu hal yang saya salut dari orang-orang lokal disana, yakni mereka sangat ahli membuat api unggun. Kebiasaan yang jarang sekali saya lakukan saat mendaki gunung, karena beberapa gunung di Jawa tidak memperbolehkan pendakinya membuat api unggun sebab berisiko terjadi kebakaran hutan. Mungkin berbeda dengan kondisi gunung Tambora yang didominasi oleh hutan basah.

Sekitar jam 2 pagi, teman-teman yang lain sudah bangun. Rekan lain yang bertugas memasak juga mulai mengambil alih dengan memasak mie goreng serta sarden. Tidak kurang dari setengah jam kemudian, makanan sudah siap dan kami mulai menikmatinya, ditengah suhu dingin yang mulai bersahabat di tubuh saya.

Jam 4 pagi—meleset 2 jam dari rencana awal, kami mulai melakukan perjalanan ke puncak. Tim secara alamiah terbentuk menjadi dua kelompok, lima orang di bagian depan, sedang sisanya termasuk saya ada di belakang. Saat kami baru memulai pendakian, tampak juga rombongan lain yang sedang menuju ke puncak. Tampaknya semalam mereka menginap di Pos 5.
Padang edelweis, di salah satu ceruk menuju puncak Gunung Tambora

Satu jam berlalu, gundukan bukit di depan mata saya masih saja tinggi. Medan kala itu didominasi oleh batu-batu kerikil serta pasir berwarna hitam legam, menampakkan sisa-sisa letusan gunung Tambora dua abad silam, tahun 1815. Tidak hanya di lereng menuju puncak, bongkahan batu-batu besar juga kerap di temui di sekitar kawasan gunung Tambora, bahkan jauh berkilo-kilo meter di bawah jalur pendakian. Sesekali tanaman edelweiss yang sudah sangat saya kenali hanya dari bentuk daunnya saja, menghiasi perjalanan dini hari itu. Masih saja merinding setiap kali melihat ‘bunga abadi’ tersebut. Entah saat berdiri sendiri, maupun saat bergerombol dengan sekawanannya di lereng gunung terjauh.

Saat kami sudah tiba di punggung bukit dan menelusuri jalan datar penuh dengan guratan-guratan batu keras, langit di ujung timur mulai membiru cerah. Kami segera bergegas, ingin bisa menikmati sunrise dari bibir kawah Tambora, yang katanya merupakan spot paling sempurna untuk menikmati matahari terbit. Dengan tetap menjaga jarak dari tepian kaldera aktif terluas se-dunia yang memiliki diameter 7 km serta kedalaman 1 km itu, kami mempercepat langkah. Senter sudah dimatikan. Dingin tak lagi menusuk. Beberapa ceruk sedalam satu hingga tiga meter sempat memperlambat langkah kami, namun semangat kami kian tinggi untuk mencapai bibir kawah dimana lima orang teman yang lain sudah menanti.


Momen sangat langka itu hanya berlangsung beberapa detik. Dimana saya tidak mengijinkan mata saya berkedip sedikitpun. Langkah saya terhenti. Saya hanya berfokus pada titik tercerah dipagi itu, yang memancarkan sinar oranye kuat khas sang raja hari. Matahari muncul dari garis terjauh batas penglihatan manusia, dengan kaldera Tambora menjadi pemisahnya, memancarkan hangatnya, menyilaukan, namun lagi-lagi, selalu bersahabat. Saya sudah lupa dengan keberadaan handycam maupun kamera, yang saya ingat saat itu,



“Ini adalah salah satu momen luar biasa dalam hidup yang hanya bisa dinikmati oleh mata…”

Belum sampai ke tujuan akhir, namun sudah banyak hadiah luar biasa yang bisa saya nikmati. Sembari tersenyum ke kawan lama yang juga katanya sebagai ‘pecinta gunung’, saya berucap,

“Gunung ini istimewa ya… Hehe…”

Perjalanan masih harus dilanjutkan. Masih ada setengah jam lagi sebelum mencapai tanah tertinggi pulau Sumbawa. Tanjakan terakhir sudah ada di depan mata. Dan entah mengapa penyakit saya yang lain kambuh juga: semakin dekat dan terlihat targetnya, makin berat kaki ini melangkah. :))

Perjalanan menuju puncak yang mengingatkan saya pada gunung Agung, dimana kanan dan kiri adalah jurang, hanya ruang seluas sekitar 2 meter menjadi jalan untuk kami. Teman-teman yang lain sudah hampir mencapai puncak, dengan semangat mereka menirukan percakapan para cacing di iklan salah satu minuman kemasan, “Pucuk… Pucuk… Pucuk…,” saya hanya bisa nyegir dibuatnya.

Tepat pada jam 6 lebih 42 menit, waktu setempat, tanggal 20 April 2014, akhirnya saya berhasil menginjakkan kaki di puncak Tambora. Tanah tertinggi pulau Sumbawa yang ditandai dengan pancangan merah-putih-nya, berada pada 2650 mdpl. Puncak yang tidak terlalu luas, namun cukup untuk tidur-tidur sambil foto-foto sambil makan-makan sambil masak air untuk bikin kopi. Alhamdulillah :)

Bersepuluh!!! :D
Sama sekali tidak menyangka bahwa ternyata saya masih diberi kesempatan untuk menikmati bagaimana bermimpi, berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, berusaha sekuat tenaga sampai napas tinggal satu-satu, hingga akhirnya mimpi itu dapat menjadi nyata. Sekali lagi, saya makin meyakini bahwa kegiatan mendaki gunung adalah miniatur dari perjalanan kehidupan yang sebenarnya. Segala kendala yang muncul satu per satu di tiap perjalanannya, naik turun medannya yang kadang menyulitkan namun juga melenakan, usaha-usaha untuk menyamankan diri yang tidak lain adalah satu bentuk adaptasi. Tak jarang juga diri ini diberi ruang untuk menyerah. Yang belakangan saya baru paham bahwa mungkin itu adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa saya masih bisa, saya masih mampu, jika saya mau.

Rekan-rekan seperjalanan yang tentunya luar biasa memberikan semangat dan bantuan, baik yang senantiasa mendampingi secara langsung, mengiringi langkah satu persatu, maupun yang menunggu di atas hanya supaya bisa memberi semangat dengan cara lebih, dengan cara berbeda. Mas Abib, Pak Arif, Yuli, Pak Haris, Angga, Andika, dan 3 orang kawan baru lainnya. Terimakasih banyak, semuanya :">

Dengan ini, saya masih ingin kembali mendaki gunung. Mencapai tanah tertinggi, menempelkan dahi di puncak berpasir, menyelami setiap tetes hujan, menyapa pagi yang seringkali penuh sunyi, menikmati edelweiss, dengan segelas kopi susu tanpa gula, serta mie kuah yang selalu bersahabat dengan lidah walaupun seringkali membuatnya melepuh.

Cerita selanjutnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 5)

Comments

  1. Subhanallah pemandangan dari atas indah banget ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Bangeeeeeeeeeeeeetttt :D :-bd

      Delete
  2. Indahnyaa.. kapan yaa aku bisa naek gunung..

    *bukan bisa sih, cuma males aja :-D

    ReplyDelete
  3. keren! kapan ya aku bisa dan diizinin naik gunung ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba ijin dulu sekarang. Siapa tau memang ternyata gak ada yang melarang ;)

      Delete

Post a Comment

Speak Up...!!! :D

Popular Posts