Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 4)
Cerita sebelumnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 1)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 2)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 3)
Momen sangat langka itu hanya berlangsung beberapa detik. Dimana saya tidak mengijinkan mata saya berkedip sedikitpun. Langkah saya terhenti. Saya hanya berfokus pada titik tercerah dipagi itu, yang memancarkan sinar oranye kuat khas sang raja hari. Matahari muncul dari garis terjauh batas penglihatan manusia, dengan kaldera Tambora menjadi pemisahnya, memancarkan hangatnya, menyilaukan, namun lagi-lagi, selalu bersahabat. Saya sudah lupa dengan keberadaan handycam maupun kamera, yang saya ingat saat itu,
“Ini adalah salah satu momen luar biasa dalam hidup yang hanya bisa dinikmati oleh mata…”
Sama sekali tidak
menyangka bahwa ternyata saya masih diberi kesempatan untuk menikmati bagaimana
bermimpi, berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut, berusaha sekuat tenaga
sampai napas tinggal satu-satu, hingga akhirnya mimpi itu dapat menjadi nyata.
Sekali lagi, saya makin meyakini bahwa kegiatan mendaki gunung adalah miniatur
dari perjalanan kehidupan yang sebenarnya. Segala kendala yang muncul satu per
satu di tiap perjalanannya, naik turun medannya yang kadang menyulitkan namun
juga melenakan, usaha-usaha untuk menyamankan diri yang tidak lain adalah satu
bentuk adaptasi. Tak jarang juga diri ini diberi ruang untuk menyerah. Yang
belakangan saya baru paham bahwa mungkin itu adalah salah satu cara untuk
menunjukkan bahwa saya masih bisa, saya masih mampu, jika saya mau.
Dengan ini, saya masih ingin kembali mendaki gunung. Mencapai tanah tertinggi, menempelkan dahi di puncak berpasir, menyelami setiap tetes hujan, menyapa pagi yang seringkali penuh sunyi, menikmati edelweiss, dengan segelas kopi susu tanpa gula, serta mie kuah yang selalu bersahabat dengan lidah walaupun seringkali membuatnya melepuh.
Cerita selanjutnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 5)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 1)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 2)
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 3)
Minggu, 20 April 2014
Kondisi saya masih sama,
tidak bisa tidur. Namun bukan lagi masalah kaki, karena beruntungnya sakitnya
sudah mulai berkurang. Ide untuk menempelkan koyo sepertinya cukup manjur,
ditambah keberadaan tongkat sakti yang cukup membantu menopang diri. Jam satu
pagi, saya bangun. Dari dalam tenda saya mulai bersiap, menggunakan celana
panjang dua susun, kaos lengan panjang, kemudian jaket, sarung tangan, headlamp
di kepala, kaos kaki, serta bandana untuk menutupi hidung dan mulut.
Saya kemudian menuju
samping tenda, yang sebelumnya sudah dipersiapkan peralatan untuk memasak nasi.
Diluar masih sepi, gelap, tidak terdengar suara apapun. Angin hanya sesekali berhembus.
Ternyata usaha saya untuk menghangatkan diri cukup berhasil, saya tidak terlalu
merasakan dingin.
Saya mulai memasak nasi.
Target pagi buta itu saya harus memasak tiga panci nasi, yang masing-masing
membutuhkan waktu sekitar setengah jam hingga masak. Sepertinya target untuk
berangkat jam 2 pagi akan sedikit bergeser. Tapi tidak apalah, dari dulu saya
juga tidak pernah berhasil mengejar sunrise dari puncak gunung. Yang penting
sampai, itu saja.
Selesai masak nasi yang
pertama, ternyata gasnya habis. Terpaksa saya bangunkan rekan yang lain di
tenda sebelah untuk meminta gas, yang mengakibatkan dia juga tidak tidur lagi.
Saat saya melanjutkan memasak, dia langsung ikut bangun dan mulai menyalakan
api unggun. Satu hal yang saya salut dari orang-orang lokal disana, yakni
mereka sangat ahli membuat api unggun. Kebiasaan yang jarang sekali saya
lakukan saat mendaki gunung, karena beberapa gunung di Jawa tidak
memperbolehkan pendakinya membuat api unggun sebab berisiko terjadi kebakaran
hutan. Mungkin berbeda dengan kondisi gunung Tambora yang didominasi oleh hutan
basah.
Sekitar jam 2 pagi,
teman-teman yang lain sudah bangun. Rekan lain yang bertugas memasak juga mulai
mengambil alih dengan memasak mie goreng serta sarden. Tidak kurang dari
setengah jam kemudian, makanan sudah siap dan kami mulai menikmatinya, ditengah
suhu dingin yang mulai bersahabat di tubuh saya.
Jam 4 pagi—meleset 2 jam
dari rencana awal, kami mulai melakukan perjalanan ke puncak. Tim secara
alamiah terbentuk menjadi dua kelompok, lima orang di bagian depan, sedang
sisanya termasuk saya ada di belakang. Saat kami baru memulai pendakian, tampak
juga rombongan lain yang sedang menuju ke puncak. Tampaknya semalam mereka
menginap di Pos 5.
Padang edelweis, di salah satu ceruk menuju puncak Gunung Tambora |
Satu jam berlalu, gundukan
bukit di depan mata saya masih saja tinggi. Medan kala itu didominasi oleh
batu-batu kerikil serta pasir berwarna hitam legam, menampakkan sisa-sisa
letusan gunung Tambora dua abad silam, tahun 1815. Tidak hanya di lereng menuju
puncak, bongkahan batu-batu besar juga kerap di temui di sekitar kawasan gunung
Tambora, bahkan jauh berkilo-kilo meter di bawah jalur pendakian. Sesekali
tanaman edelweiss yang sudah sangat saya kenali hanya dari bentuk daunnya saja,
menghiasi perjalanan dini hari itu. Masih saja merinding setiap kali melihat ‘bunga
abadi’ tersebut. Entah saat berdiri sendiri, maupun saat bergerombol dengan
sekawanannya di lereng gunung terjauh.
Saat kami sudah tiba di punggung bukit dan menelusuri jalan datar penuh dengan guratan-guratan batu keras, langit di ujung timur mulai membiru cerah. Kami segera bergegas, ingin bisa menikmati sunrise dari bibir kawah Tambora, yang katanya merupakan spot paling sempurna untuk menikmati matahari terbit. Dengan tetap menjaga jarak dari tepian kaldera aktif terluas se-dunia yang memiliki diameter 7 km serta kedalaman 1 km itu, kami mempercepat langkah. Senter sudah dimatikan. Dingin tak lagi menusuk. Beberapa ceruk sedalam satu hingga tiga meter sempat memperlambat langkah kami, namun semangat kami kian tinggi untuk mencapai bibir kawah dimana lima orang teman yang lain sudah menanti.
Saat kami sudah tiba di punggung bukit dan menelusuri jalan datar penuh dengan guratan-guratan batu keras, langit di ujung timur mulai membiru cerah. Kami segera bergegas, ingin bisa menikmati sunrise dari bibir kawah Tambora, yang katanya merupakan spot paling sempurna untuk menikmati matahari terbit. Dengan tetap menjaga jarak dari tepian kaldera aktif terluas se-dunia yang memiliki diameter 7 km serta kedalaman 1 km itu, kami mempercepat langkah. Senter sudah dimatikan. Dingin tak lagi menusuk. Beberapa ceruk sedalam satu hingga tiga meter sempat memperlambat langkah kami, namun semangat kami kian tinggi untuk mencapai bibir kawah dimana lima orang teman yang lain sudah menanti.
Momen sangat langka itu hanya berlangsung beberapa detik. Dimana saya tidak mengijinkan mata saya berkedip sedikitpun. Langkah saya terhenti. Saya hanya berfokus pada titik tercerah dipagi itu, yang memancarkan sinar oranye kuat khas sang raja hari. Matahari muncul dari garis terjauh batas penglihatan manusia, dengan kaldera Tambora menjadi pemisahnya, memancarkan hangatnya, menyilaukan, namun lagi-lagi, selalu bersahabat. Saya sudah lupa dengan keberadaan handycam maupun kamera, yang saya ingat saat itu,
“Ini adalah salah satu momen luar biasa dalam hidup yang hanya bisa dinikmati oleh mata…”
Belum sampai ke tujuan
akhir, namun sudah banyak hadiah luar biasa yang bisa saya nikmati. Sembari
tersenyum ke kawan lama yang juga katanya sebagai ‘pecinta gunung’, saya
berucap,
“Gunung ini istimewa ya…
Hehe…”
Perjalanan masih harus dilanjutkan.
Masih ada setengah jam lagi sebelum mencapai tanah tertinggi pulau Sumbawa.
Tanjakan terakhir sudah ada di depan mata. Dan entah mengapa penyakit saya yang
lain kambuh juga: semakin dekat dan terlihat targetnya, makin berat kaki ini
melangkah. :))
Perjalanan menuju puncak
yang mengingatkan saya pada gunung Agung, dimana kanan dan kiri adalah jurang,
hanya ruang seluas sekitar 2 meter menjadi jalan untuk kami. Teman-teman yang
lain sudah hampir mencapai puncak, dengan semangat mereka menirukan percakapan
para cacing di iklan salah satu minuman kemasan, “Pucuk… Pucuk… Pucuk…,” saya
hanya bisa nyegir dibuatnya.
Tepat pada jam 6 lebih 42
menit, waktu setempat, tanggal 20 April 2014, akhirnya saya berhasil menginjakkan
kaki di puncak Tambora. Tanah tertinggi pulau Sumbawa yang ditandai dengan
pancangan merah-putih-nya, berada pada 2650 mdpl. Puncak yang tidak terlalu
luas, namun cukup untuk tidur-tidur sambil foto-foto sambil makan-makan sambil
masak air untuk bikin kopi. Alhamdulillah :)
Bersepuluh!!! :D |
Rekan-rekan seperjalanan
yang tentunya luar biasa memberikan semangat dan bantuan, baik yang senantiasa
mendampingi secara langsung, mengiringi langkah satu persatu, maupun yang
menunggu di atas hanya supaya bisa memberi semangat dengan cara lebih, dengan
cara berbeda. Mas Abib, Pak Arif, Yuli, Pak Haris, Angga, Andika, dan 3 orang
kawan baru lainnya. Terimakasih banyak, semuanya :">
Dengan ini, saya masih ingin kembali mendaki gunung. Mencapai tanah tertinggi, menempelkan dahi di puncak berpasir, menyelami setiap tetes hujan, menyapa pagi yang seringkali penuh sunyi, menikmati edelweiss, dengan segelas kopi susu tanpa gula, serta mie kuah yang selalu bersahabat dengan lidah walaupun seringkali membuatnya melepuh.
Cerita selanjutnya:
Pendakian Gunung Tambora 2014 (part 5)
Subhanallah pemandangan dari atas indah banget ya
ReplyDeleteIya mbak. Bangeeeeeeeeeeeeetttt :D :-bd
DeleteIndahnyaa.. kapan yaa aku bisa naek gunung..
ReplyDelete*bukan bisa sih, cuma males aja :-D
sekarang juga! :D
Deletekeren! kapan ya aku bisa dan diizinin naik gunung ya :D
ReplyDeleteCoba ijin dulu sekarang. Siapa tau memang ternyata gak ada yang melarang ;)
Deletembak, keren bangeeet
ReplyDeleteIyadonks :D
Delete