Satu Bulan Bukanlah Waktu yang Lama
Dering handphone yang sudah ku kenal memenuhi ruang dengar.
Dengan malas kuambil handphoneku yang tergeletak dimeja di samping tempat tidur.
“Halo, assalamualaikum…”
“Aku senaaaaaaaaaaaaaaaaaaaangg…”
“Ha….???”
“Hehehe… Besok pulang sekolah ikut aku ya. Harus. Gak boleh
gak!!!”
Peep.
Dan telepon pun terputus.
Dan telepon pun terputus.
Apa coba maksudnya ini orang? Malam-malam begini telpon cuma
untuk mengucapkan beberapa kalimat kemudian menutupnya dengan semena-mena. Tak
ingin mengambil pusing, aku memilih melanjutkan tidurku yang baru seperempat
jalan.
*
Tahun ajaran baru dimulai. Akhirnya aku resmi menyandang
status murid kelas XI. Waktu berlalu begitu cepat, padahal bayang-bayang MOS
setahun yang lalu seolah masih terpampang nyata di ingatan. Sepagian ini di
sekolah hanya diisi dengan pengumuman pembagian kelas, jadwal pelajaran, serta
basecamp untuk masing-masing kelas, dan aku, menempati kelas XI IA 7, yang
ber-basecamp di ruang Fisika 2. Posisi yang sangat strategis, kelas yang
berhadapan langsung dengan lapangan sekolah, dan terletak di lantai satu.
Beruntungnya aku…
Beberapa kawan yang dulunya satu kelas pada kelas X, juga
masih bersama denganku. Walaupun tak banyak. Agak sedih juga saat tau bahwa
dia, yah, dia, siapa lagi kalau bukan laki-laki berpostur tinggi besar dengan
rambut cepak ala tentara itu, ternyata tidak lagi satu kelas denganku. Tapi ya
sudahlah, mungkin kalau aku satu kelas lagi dengannya, diri ini akan menjadi
cepat bosan? Hahha.. Salah satu usaha menghibur diri sendiri yang sepertinya
tidak berhasil sama sekali.
Hari sudah beranjak siang. Akhirnya terdengar juga pengumuman
bahwa kegiatan belajar mengajar baru akan dimulai besok dan seluruh murid diperbolehkan
pulang saat ini. Segera diriku bergegas merapikan bangku tempat aku duduk
sedari tadi, sambil mengamati lapangan sekolah yang tak henti-hentinya dilalui
orang. Begitu keluar kelas, sedikit ku panjangkan leherku dan menjinjitkan
kakiku, mencari-cari sesosok makhluk tinggi besar ditengah ramai para siswa
dengan seragam putih abu-abunya yang berjalan kesana kemari. Hasilnya
nihil. Handphone yang sedari tadi ku genggam juga tak berkutik sama sekali.
Dengan malas, akhirnya aku melangkahkan kaki menuju parkiran sepeda motor.
Sudah separuh jalan menuju tempat parkir, tiba-tiba ada
seseorang menepuk pundakku dari sebelah kanan.
“Eh, jadi kan? Ikut aku ya…”, katanya singkat, sambil
melangkah mendahuluiku. Lagi-lagi aku cuma diam, dengan sedikit anggukan yang
entah kusadari atau tidak.
Begitu ku kendarai sepeda motorku melalui pintu gerbang
sekolah, sudah ada dia di tepi jalan menanti kedatanganku. Benar saja,
begitu aku mendekat, ia mulai melajukan sepeda motornya. Pelan. Sedang diriku
mengikutinya di belakang.
Sekali berbelok, kemudian kami berhenti di persimpangan. Lampu
masih menyala merah, dan aku masih belum tau kami akan pergi kemana. Begitu
hijau menyala, sepeda motor kami kembali berjalan, beriringan. Kali ini ia mengurangi
kecepatan, kemudian menepi, berbelok ke kiri, dan parkir dengan mulus di depan
salah satu restoran cepat saji yang letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah.
Ohhh… kesini toh tujuannya, pikirku.
Masih dalam kebisuan, kaki ini mulai melangkah kedalam.
Menuju kasir sekaligus tempat memesan makanan, seperti yang biasa dilakukan
para pengunjung yang lain. Setelah beberapa detik, barulah sosok disampingku
bersuara.
“Mau makan apa?”
“Apa aja boleh…”
“Nasi..?”
“Gak mau…”
“Gak mau…”
“Lho, kenapa?”
“Gak ada piringnya. Gak mau makan nasi…”
Dia hanya tersenyum geli mendengar apa yang ku katakan.
Seolah sudah bisa membaca pikiranku, akhirnya ia menyuruhku mencari tempat
duduk.
“Oke…”, kataku sambil nyengir. Semoga saja cengiran yang
manis.
Belum lewat level tiga games onet di handphone aku mainkan,
ia sudah datang. Lengkap dengan senampan penuh makanan beranekaragam. Bak
seorang waitress handal, ia menyuguhkan satu porsi kentang goreng super size
plus sundae coklat di depanku. Well,.. not bad.
Hanya dua kata yang terucap setelah itu,
“Selamat makannn..”
Kemudian kami disibukkan oleh hidangan masing-masing. Dia dengan big burger dan coke floatnya, sedangkan aku dengan french fries sauced ice cream yang cukup lezat. Hmmmm….
Belum habis apa yang ada di hadapan kami, aku melihat ia
menghentikan aktifitasnya. Meraih ransel yang sedari tadi duduk manis
disampingnya, kemudian mengeluarkan secarik kertas dari kantong bagian depan
ransel tersebut.
“Baca ini…”, katanya sambil menyerahkan kertas itu padaku.
Aku yang masih bingung, mencoba mencerna kata-kata yang ada
di hadapanku. Hingga pada bagian akhirnya, aku bisa menyimpulkan apa sebaiknya
yang terjadi selanjutnya.
“Whaowwww… Selamat yahh… Keren bangettt!!!”, kataku sambil mengembalikan kertas yang sudah kubaca. Ia menerimanya dengan senyum yang merekah, dan kembali membacanya. Mungkin, dia sendiri sudah hafal setiap kata yang ada di surat itu.
“Jadi, kapan perginya?”
“Dua minggu lagi…”
“Berapa lama?”
“Kurang lebih sebulan…”
“Whaoww.. Sekolahnya gimana?”
“Dispensasi laah, kan itu panggilan juga..”
“Ohh…”
Kembali ku suapkan potongan kecil kentang goreng ke mulutku.
“Jadi, ini ngajak makannya gara-gara itu?”
“Hehe… Iya. Kenapa emang?”
“Gak, gak papa. Tanya aja..”
“Nanti malam Ibu mau bikinkan brownies. Asik dehhh..”
“Hwaaaaaaa… Enak donk”
“…dan akhirnya aku bisa pakai sepatu baru”
“Ha..?”
“Iya. Kapan hari Ibu belikan sepatu fantovel. Gak tau buat
apa. Mungkin memang beliau sudah ada feeling aku bakalan lolos. Makanya
dibeliin aja. Dan akhirnya benar kan, sepatu itu kepakek juga”.
Tampak sekali raut keceriaan di wajahnya, di nada suaranya. Ahh kamu,...
Aku hanya tersenyum-senyum melihatnya.
Kentang terakhir sudah masuk ke mulutku. Sundae coklatnya
juga hanya tersisa sedikit, itupun sudah cair. Matahari sudah condong ke arah
barat, dan akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sebelum berpisah, sekali lagi
kuucapkan selamat sambil menjabat tangannya. “Ikut senang dengernya. Sekali
lagi selamat ya…”
*
Dua minggu berlalu begitu saja, bagiku, namun sepertinya tidak
baginya. Banyak hal yang harus dipersiapkan, hingga pada akhirnya bahkan
sebelum pergi untuk satu bulan lamanya pun ia sudah seringkali meninggalkan jam
pelajaran di sekolah. Ini kudengar dari beberapa orang teman, karena kabar
tentang kepergiannya sudah menyeruak ke seantero sekolah. Siapa yang tidak
bangga coba, jika ada salah seorang perwakilan dari sekolah terpilih sebagai
salah satu anggota paskibraka tingkat propinsi.
Hingga akhirnya ia pergi, tanpa berpamitan sedikitpun.
Tiba-tiba terpikir, mengapa harus sedih? Bukannya seharusnya
aku ikut berbahagia mengantar kepergiannya? Lagipula, mengapa seolah aku merasa spesial? Aku kan bukan siapa-siapa. Hanya teman sekelasnya di kelas X yang
kebetulan saja sering pulang sekolah bersama-sama atau jajan dikantin
bersama-sama. Ah, sudahlah. Satu bulan bukan waktu yang lama. Lagipula ada atau
tidaknya dia, sepertinya memang tidak terlalu berpengaruh. Toh kami sekarang
berbeda kelas.
Tapi, lantas apa artinya dia mengajakku makan, dua minggu
yang lalu? Hmmmm...
*
Pagi ini cuaca di kotaku cukup ramah. Senin lagi, yang tidak
jauh berbeda dengan senin-senin yang lalu. Segera bersiap memacu sepeda motor
ke sekolah, dengan perasaan yang biasa saja. Tak ada beda dengan hari-hari
sebelumnya, terutama hari seninnya. Begitu masuk kelas, ternyata sudah cukup
banyak yang datang. Sebagian besar murid perempuan sedang berkelompok di pojok
belakang, sepertinya sedang membicarakan sesuatu. Sambil diliputi rasa
penasaran, akupun mendekat. Tak perlu berbicara, cukup jadi pendengar
saja, dan tak butuh waktu lama, aku pun sudah bisa menangkap apa yang sedang
dibahas.
Seiring dengan itu, handphone di tanganku bergetar. Aku
melihat, ada pesan singkat dari serangkaian nama yang sudah satu bulan belakangan
ini tak pernah muncul di layar.
“Halooo… Gak kangen aku kah…?”
Ahh.. sial. Tiba-tiba wajahku memerah dibuatnya. Sengaja tak
kujawab. Aku lebih suka sapaan langsung darinya. Mari kita lihat, apakah ia
berani menanyakan hal tersebut langsung di hadapanku. Namun senyum simpul tak
bisa tertahan dari seraut wajahku. Aku hanya berharap bahwa teman-teman yang
sedang bergosip itu sedang tidak memperhatikanku.
Bel masuk belum berbunyi, sepertinya masih sempat kalau aku
ke kamar mandi dulu. Belum genap lima meter kaki ini melangkah dari pintu kelas, tiba-tiba ada
seseorang menepuk pundakku di sebelah kanan. Aku menoleh, sedikit saja, namun
sudah bisa ku tangkap senyum manis yang sudah lama tak tersapa oleh mataku.
Aku tau banyak sekali yang ingin kau ceritakan, tapi untuk
saat ini, bisa menikmati senyummu saja itu sudah cukup. Ternyata, satu bulan
bukanlah waktu yang terlalu lama ya... []
*note,
Ini merupakan seri kelima kisah Sang Pecinta Hujan, dan semoga akan terus berlanjut. Untuk seri-seri sebelumnya, dapat dilihat di tautan link berikut: Seri Pertama [klik], Seri Kedua [klik], Seri Ketiga [klik], Seri Keempat [klik]
Tajaaaam.. terpercaya! Seperti lagi nonton Sinetron FTV, hihiiii.... StoryLine-nya keren, tapi.... :D
ReplyDeleteTapi?
Deletewaaaa...bagus ceritanya :)
ReplyDeleteMakasihh
Delete:) nice
ReplyDeleteTengkyuu :)
DeleteLoh,kok jadi baca sambil senyum2 yaaa :D
ReplyDelete#buka link2 sebelumnya :p
Ciyeee... senyum senyum sendiri nihhh :p
DeleteLoh,kok jadi baca sambil senyum2 yaaa :D
ReplyDelete#buka link2 sebelumnya :p
Hmm.... wondering, ini kisah nyata atau bukan? atau kisah nyata dengan sentuhan fiksi pd beberapa bagian? hmm...
ReplyDeletekaya ceritanya nyata ya tulisannya :)
ReplyDeleteloh.. ini seri ya? :D
ReplyDeletenanti kalo ada sedikit waktu, mau baca dari awal aaah~
Wah kudu mulai baca dari awal nih biar ndak bingung bacanya..ntar bisa dijadiin novel nih mae :D
ReplyDelete