Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda
Yakk, destinasi kedua untuk hari ini adalah Taman Hutan Raya
Ir. H. Juanda yang letaknya masih di kawasan Maribaya. Dari de Ranch
sebelumnya, tinggal jalan sedikit ke bundaran, kemudian naik angkot satu kali,
cukup dengan empat ribu rupiah per kepala.
Selamat datang di Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda :) |
Biaya masuk perkepala cukup sebesar
tujuhribulimaratusrupiah. Kemudian mulailah perjalanan kami. Belum jauh dari
loket masuk, tiba-tiba ada sepeda motor yang melintas. Berarti bisa ya naik
motor? Aneh. Tapi yasudahlah, kami lebih memilih untuk berjalan kaki. Lebih
bisa menikmati begitu… *alesan. Awalnya jalanan datar-datar saja, namun
kemudian jalan mulai berbelok dan menurun curam. Setelah menuruni beberapa anak
tangga, akhirnya kami tiba di persimpangan. Yang agak mengagetkan, ternyata
dari persimpangan itu, untuk menuju Goa Belanda masih harus melalui jalan
sepanjang 5 km. Meeen,.. bisa satu jam baru sampai goa nya nih. Belum ke air
terjunnya juga. Haihhh...
masih 5 kilometer lagi :| |
Saya dan Ajiw naik motor Honda Astrea Star, ntah keluaran
tahun berapa, mungkin motornya lebih tua dari saya. Saya cuma berharap motor
tersebut bersahabat, tidak mogok di jalan, bisa dikendalikan, dan bensinnya
cukup. Sedangkan Yuni dan kak Pipi naik motor matic Mio. Lalu, berangkatlah
kami.
Berdasarkan instruksi dari pak tukang ojek, jalan di depan
sudah bagus, karena sudah di “paving block”. Bayangan kami yaa seperti paving
biasa gitu ya. Namun ternyata salah besar saudara-saudara. Iya betul emang
paving block, tapi pavingnya sudah banyak yang rusak, dan ada beberapa titik
dimana jalannya becek. Ouch… Sama sekali gak kebayang kalo saya akan melakukan
perjalanan semacam itu. Ditengah hutan yang cukup lebat, dengan jalan paving
‘belok’ (belok kalo kata Ajiw itu bahasa Sunda, artinya becek. Mungkin memang
ini maksud dari bapak tukang ojek tadi yahh) yang berkelok-kelok dan naik
turun, kondisi motor yang masih asing serta rem tangan yang agak keras, jujur
sempat membuat saya sedikit ketakutan. Cuaca juga lagi dingin, tangan rasanya
kaku begitu. Serasa baru belajar naik motor saja. Namun akhirnya lima kilometer
yang luar biasa itu terlalui. Sampailah kami di goa Belanda.
Ada warung yang jual makanan kecil dan jagung bakar. Asikkk…
Sebelum mengisi perut, kami memutuskan untuk masuk ke goa
Belanda terlebih dahulu. Goa ini dulunya dibangun saat masa penjajahan Belanda,
membelah tebing tinggi di kawasan hutan raya tersebut, yang mungkin selain
bertujuan untuk tempat berlindung, juga digunakan sebagai jalan pintas. Dari
luar, goa ini terlihat tidak terlalu jauh, terdiri dari garis lurus saja, dan
dari mulut goa yang satu, kita bisa melihat pintu keluar yang terletak di ujung
sana. Saat masuk, suasana seram mulai terasa –mungkin karena saya penakut ya.
Hehe… Kondisi didalam sangat gelap. Dari kami berempat, hanya ada satu senter
yang menerangi. Dan ternyata saya salah, karena goa ini dibagian dalam cukup
luas. Ada beberapa jalan ke kanan dan kekiri yang cukup luas, entah untuk apa.
Mungkin digunakan sebagai gudang? :-/
Dijalan yang kami lalui, juga terdapat semacam rel kereta.
Masa’ iya kereta lewat sini? Rasanya lebih mungkinkan kalo rel tersebut digunakan
untuk membawa barang-barang berat. Iyadeh, begitu saja. *lho
Begitu sampai di ujung, kami bertemu dengan sisi lain dari
goa Belanda. Ternyata disana cukup banyak orang, dan dari orang-orang itu kami
mendapat informasi bahwa kami bisa pulang lewat jalur yang lain, nanti akan
tembus di Dago. Dan jalannya jauh lebih dekat!!! Kami tidak punya pilihan lain. Tetap harus kembali
ke jalan sebelumnya. Rencana ke goa Jepang juga kami batalkan karena hari sudah
beranjak petang, dan hujan mulai datang.
Setelah mengisi perut dengan segelas mie instan serta jagung
bakar, kami memutuskan untuk kembali. Ditengah hujan yang tidak terlalu lebat,
bayangan jalan yang rusak serta naik turun membuat saya agak khawatir. Tapi yasudahlah, mau tidak mau
memang harus dilalui. Cuma satu pesan saya untuk Ajiw, hati-hati, jangan sampai
jatuh, dan mohon maaf kalo nyetirnya agak kasar karena jalannya rusak dan
banyak yang menanjak. Kalo gak dibuat kenceng, saya kuatir motor honda star
membahana badai khatulistiwa ini gak mau jalan.
Seluruh tubuh hampir basah kuyup saat kami sampai di tempat
bapak tukang ojek yang tadi. Satu lagi kesalahan hari ini, gak tanya ke pemilik
motor tentang keberadaan jas hujan yang ternyata sejak tadi sudah nangkring di
bawah jok motor. Subhanallah…
Kami memutuskan untuk mengunjungi curug Omas yang katanya
jaraknya tidak terlalu jauh. Ditambah, berdasarkan informasi dari bapak tukang
ojek, dari curug omas tersebut ada jalan yang langsung menuju jalan utama, jadi
tidak perlu kembali lagi. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki
sekitar 300 meter dengan medan yang landai. Menikmati kesejukan Taman Hutan
Raya Ir. H. Juanda di tengah rintik hujan yang masih setia menemani. Tak lagi
peduli pada jaket, celana, rok, sandal, kaus kaki, tas, jilbab yang mulai layu karena
basah. Kesempatan ini tak akan datang dua kali, terutama untuk saya, Yuni, dan
kak Pipi yang datang jauh-jauh dari pulau seberang.
Curug (air terjun) Omas memiliki keunikan tersendiri dari
segi lokasinya. Di sini, pengunjung tidak bisa langsung turun ke air terjunnya,
melainkan hanya bisa melihat dari jauh, dari jembatan yang dibangun melintasi
sungai besar. Dari jembatan itu, pengunjung bisa melihat dengan jelas Curug
Omas yang menurut saya cukup besar dan tinggi, dengan air yang juga deras.
Entah seberapa dalam sungai yang berada di bawah jembatan itu. Siang menjelang
sore itu juga airnya agak kecoklatan, mungkin karena pengaruh hujan yaa..
Yang bikin agak ngeri, jembatannya. Hehe… Kalo ada yang
jalannya sambil hentak-hentak kaki, kerasa banget getarannya. Apalagi waktu itu
sempat bercanda sama yang lain, jadinya ketawa bareng deh. Dan itu berhasil
bikin kami berempat agak takut karena jembatannya juga ikutan ketawa *ehh.
Tidak lama waktu yang kami habiskan disana, kami memutuskan
untuk kembali. Berdasarkan instruksi bapak tukang ojek, kami cukup melewati
jalan setapak di sebelah kiri. Yuni di depan, diikuti kak Pipi, Ajiw, kemudian
saya. Awalnya jalannya masih bagus dan jelas. Terus terus dan terus, tiba-tiba
jalan setapak itu hilang. Yang ada di depan kami hanya hutan, dengan
pohon-pohon kecil yang tidak terlalu padat. O’ow.. nyasar kah? Tapi berdasarkan
instruksi dari bapak tukang ojek, harusnya benar. Dan menurut logika kami juga
benar, jalan utama adanya di sebelah kiri. Kalau kami berbelok ke kanan dan
menyeberangi sungai, itu baru salah.
Saya dan Yuni akhirnya memutuskan untuk tetap jalan dan
melihat keadaan di depan. Kak Pipi dan Ajiw tunggu di belakang, dan nanti kalo
kami sudah nemu jalan, baru deh di jemput. Tapi ternyata batal, karena akhirnya
semua ikutan jalan. :D Sempat agak bingung juga, soalnya makin lama pohonnya
makin rapat, dan jalan makin gak terlihat. Tapi, akhirnya dapat petunjuk juga,
karena jalan utama yang kami lalui saat berangkat tadi mulai terlihat –pagarnya.
"Yun, mo nembak langsung kah?”, nekat nanya beginian,
padahal medannya lumayan curam, tebing gitu deh. Maksud saya supaya gak perlu
jalan lagi, tapi langsung nerabas ke jalan utama. Tapi, lagi-lagi batal. Coba
cari jalan lagi, akhirnya nemu juga jalan yang sepertinya pernah dilalui orang,
yang akhirnya mengantarkan kami ke jalan utama, walaupun masih dipisahkan oleh
pagar setinggi dada orang dewasa. Akhirnya dengan kesepakatan bersama, kami
memutuskan untuk manjat pagar!!! #:-S
Bisa kembali ke jalan utama yang lurus dan benar itu rasanya
sesuatu banget yahh. Gak kebayang kalo tadi nyoba jalan terus, ntah bakalan tembus
dimana kami. Tapi yasudah, perjalanan yang luar biasa ini memang harus segera
di akhiri. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore, sedang hujan masih setia
merintik.
Sampai di depan Taman Hutan Raya, bingung mau naik apa.
Akhirnya kami memilih duduk di depan toko yang ada di tepi jalan. Angkutan
tidak ada yang lewat satupun. Kendaraan lain juga hanya beberapa saja. Lalu,
dari kejauhan terlihat pik-up, dan nekat saja kami mencoba melambaikan jempol
ala ‘laik dis’ gitu. Pik-up tersebut sempat mengurangi kecepatan, namun entah
karena melihat kami sendiri tidak yakin, akhirnya bapak supirnya hanya lewat
begitu saja. Akhirnya kami mencoba memantabkan hati. Okelah, naik pik-up pun
tak apa.
Pik-up kedua akhirnya datang juga. Kali ini tanpa ragu kami
melambaikan jempol, dan akhirnya mobil tersebut berhenti juga. Yuni, yang
bertugas bernegosiasi. Entah bagiamana prosesnya, pada akhirnya bapak supir dan
penumpang yang didepan bersedia mengangkut kami.
Well, ini pengalaman pertama saya ke Bandung, pengalaman pertama
saya ke Taman Hutan Raya. pengalaman pertama saya naik motor dengan medan yang
whaoww, pengalaman pertama saya ke goa Belanda yang agak seram, pengalaman
pertama saya ke curug Omas, dan ini pengalaman pertama saya naik angkot di
tengah kota!!!
Tepat di gang kecil di kawasan UPI, Geger Kalong tengah,
kami berempat turun dari pik-up. Cukup berjalan kaki sedikit, akhirnya kami
kembali juga di kos kosan Aisa dengan selamat tak kurang suatu apapun kecuali
basah kuyup. Alhamdulillah… :)
ada guanya ya ternyata disana
ReplyDeleteSeruuu nih masih bisa ngumpul2 :D
ReplyDelete*bayangin sahabat yg udah pada nikah*
Owh.. jadi ke tahura masuk dari sisi lembang ya tante? aku waktu kesana masuk dari sisi dago, lewat goa jepang, goa belanda, air terjun, baru maribaya. lumayan sih, olahraga. dari goa belanda ke goa jepang itu masih jauh lho kalo mau nekat. soalnya goa jepang deket pintu masuk dari sisi dago pakar. total dari ujung ke ujung sekitar 8 km lah paling ya..
ReplyDeleteoverall masih terkelola dengan apik kayaknya ya,
ReplyDeletebtw, foto air terjunnya dapet banget kesan dramatic nya,
kereeen..!
travelling trusssssssssssss... pinter banget deh bikin ngiler :|
ReplyDeleteIyaa emang bikin ngiler, :|
ReplyDeleteDan itu agak menghibur diri sendiri pastinya, "agak seram", padahal goa itu banyak yg pernah dibantai, hahahahahaa... Untung ga ketemu Kuntilanak :p
seru juga sepertinya liburan ke sana :)
ReplyDeleteenjoy your weekend ^^
sru banget...aplgi yg d jembatan..hehhe
ReplyDelete