Menjadi Fasilitator Itu...
Pertama kali mendengar kata ‘fasilitator’, saat
masih duduk dibangku kuliah, semester 5 tepatnya. Pada saat itu, sistem
perkuliahan berubah jika dibandingkan 4 semester pertama yang sudah saya jalani
sebelumnya. Pada semester 5 (yang juga berlanjut ke semester 6), saya dan
teman-teman satu angkatan diperkenalkan pada metode baru, yakni PBL (Problem Based Learning). Kami, satu
kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 10-12 orang,
kemudian diberi satu permasalahan (gizi) untuk kemudian diberi kesempatan
beberapa hari mencari solusi dari permasalahan tersebut. Masing-masing kelompok
didampingi oleh seorang fasilitator, namun tugas fasilitator ini sangat berbeda
dengan para bapak-ibu dosen yang hobinya tugasnya adalah mengajar,
memberi kuliah, berceramah, dan semacamnya.
Lantas dimana letak perbedaan antara ‘fasilitator’
dengan ‘guru/pengajar’?
Kalau berdasarkan yang saya rasakan pada saat
kuliah dulu, pertama, terasanya fasilitator itu sederajat dengan mahasiswa.
Tidak ada satu pihak yang merasa lebih tahu daripada yang lain. Tidak semudah
membujuk seorang dosen/guru untuk menjawab pertanyaan dari kami saat ada yang
tidak kami pahami, karena mereka (fasilitator.red) memang lebih cenderung untuk
menuntun kita berpikir kritis, berargumen, ber-mungkin-mungkin ria dengan
menggunakan logika serta ilmu pengetahuan yang dimiliki. Fasilitator juga,
pelit bocoran ilmu, dan lebih suka memberikan petunjuk-petunjuk yang terkadang
terasa sangat jelas, atau justru sebaliknya: makin menyesatkan. Tapi yang saya
ingat, dalam proses diskusi itu, tidak ada jawaban yang salah. Semua benar,
semua senang, semua menang. Tinggal pandai-pandainya seorang fasilitator untuk
menuntun kami, satu kelompok kecil itu untuk menemukan ‘jalan yang semestinya’.
Sangat berbeda dengan guru/dosen yang lebih sering
mentransfer ilmu melalui ceramah,
praktek, dan semacamnya. Lebih sering terjadi komunikasi satu arah (walaupun
dalam prosesnya, tetap ada diskusi dan tanya jawab). Selain itu, seorang guru
atau dosen pasti sangat senang jika ada murid atau mahasiswanya yang bertanya,
dan tidak akan segan-segan untuk membagi ilmunya, serta meluruskan kebingungan
para muridnya.
Namun ternyata, menjadi fasilitator itu tidak
semudah yang terilihat, kawan…
Bagaimana saya bisa tahu? Karena pada
kenyataannya, saya sekarang adalah seorang fasilitator. Nutrition Project Facilitator,
lebih tepatnya.
Yak,. Sampai juga saat dimana saya akan bercerita
tentang pekerjaan. Ini sengaja saya tulis agar bisa meluruskan persepsi
teman-teman terkait dengan apa yang saya lakukan di Dompu. Apakah disini memang
benar bekerja atau jalan-jalan? Apakah disini memang tujuannya untuk mencari
sesuap nasi atau menjelajah keindahan negeri? Apakah disini akan menetap untuk
jangka waktu tertentu atau hanya sesaat? Karena pada kenyataannya, semenjak
saya menjejakkan kaki di tanah Sumbawa, rasanya yang lebih sering terlihat adalah
acara jalan-jalan, makan-makan, dan semacamnya. Beberapa waktu yang lalu juga salah
seorang teman kuliah menyampaikan kalau si popcorn
isinya jalan-jalan melulu, padahal ia ingin tau bagaimana pekerjaanku,
bagaimana instansi tempatku bernaung, sistem kerjanya, dan semacamnya, karena
temanku ini juga sebenarnya punya minat yang sama denganku, berkarir di NGO. Disamping
itu, beberapa hari yang lalu juga si Gandi
menanyakan tentang ‘fasilitator’ itu seperti apa. Katanya, “Keren aja gitu
kayaknya, fasilitator…”, walaupun saya paham dengan sangat kalau kata ‘keren’
disitu merupakan kesimpulan singkat yang didapat hanya dari sebuah nama. Hehehe…
Kalau begitu untuk kali ini, ijinkan saya
bercerita tentang fasilitator ya, kawan. Selamat menyimak… *Dipersilakan dengan hormat jika tidak tertarik dengan bahasan, untuk
segera meng-klik ‘close tab’*
B-)
Terhitung selama dua minggu pertama setelah saya
sampai di Dompu, NTB, masih di Indonesia,
saya bersama beberapa kawan yang lain yang tergabung dalam tim proyek ini
menjalani orientasi. Dalam proses orientasi tersebut, selain kami diberikan
banyak informasi terkait sistem kerja juga peraturan lembaga, kami juga
dibekali dengan “Teknik Memfasilitasi”.
Kegiatan fasilitasi memang sudah bukan hal baru di dunia NGO, siapapun dia,
apapun posisinya, harus bisa menjadi seorang fasilitator. Karena setiap ada
semacam event atau kegiatan atau
pelatihan atau semacamnya—terutama yang sifatnya partisipatif, kami harus bisa
menempatkan diri sebagai seorang fasilitator, bukan orang yang serba tahu.
Saya sedikit kesulitan untuk mendefinisikan
‘fasilitator’ dalam bentuk satu kalimat utuh. Namun menurut saya, satu hal
penting yang perlu dipahami untuk menjadi seorang fasilitator yang baik adalah kita tidak boleh menempatkan diri dan
berperan sebagai guru, melainkan lebih ke arah mendorong untuk terjadinya
proses berpikir. Mungkin kurang lebih sama dengan yang saya sampaikan di
awal tadi, fasilitator dalam proses PBL. Agak pelit untuk berbagi ilmu (karena
saya yakin bahwa sebenarnya mereka sudah tahu tentang jawaban-jawaban dari
pertanyaan yang mereka ajukan sendiri), namun selalu membantu dalam mengarahkan
ke proses berpikir yang kritis, yang ternyata bukan perkara yang mudah.
Keberhasilan dalam memfasilitasi sangat ditentukan
oleh ketrampilan seorang fasilitator. Penggunaan bahasa yang bisa dimengerti
oleh audience, kemampuan berbicara
dengan keras dan jelas, serta ketrampilan menyederhanakan satu konsep yang
sulit, menjadi tiga hal penting yang harus dimiliki oleh seorang fasilitator. Disamping
ketrampilan-ketrampilan lainnya yang lebih bersifat umum, seperti bersikap
terbuka dan rendah hati, menempatkan diri sejajar dengan audience, mampu menghargai orang lain, dan sebagainya.
Apakah saya sudah memenuhi kriteria-kriteria
tersebut? Dengan jelas dan yakin saya katakan: BELUM…!!!
Menjadi fasilitator, yang saya rasakan adalah
susah-susah gampang. Sejauh ini, saya bersama tim proyek sudah memfasilitasi
kurang lebih empat kegiatan, dengan latar belakang audience yang beranekaragam baik dari suku, ras, status sosial dan
ekonomi, pekerjaan, dan lain sebagainya. Hal ini pastinya akan berpengaruh pada
teknik memfasilitasi yang digunakan, disamping juga dipengaruhi oleh sumber
daya yang dimiliki serta memfasilitasi dalam hal apa.
Beberapa kali menjadi fasilitator, juga beberapa
kali difasilitasi, semakin memperkaya pengetahuan tentang kegiatan
memfasilitasi. Tiap fasilitator selalu berbeda-beda, dan kesemuanya memiliki ciri
khas masing-masing. Ada yang agak lamban namun pasti, ada yang mengandalkan
kecepatan berpikir, ada yang sangat mahir dalam mendengarkan, memiliki
kemampuan kontak mata yang luar biasa sehingga bisa mengajak audience untuk terfokus padanya, dan lain
sebagainya.
Bagaimana dengan saya? Hmmmm.. empat kali
memfasilitasi masih belum cukup rasanya untuk bisa menyimpulkan ‘style memfasilitasi’ dari seorang Armae. Masih banyak yang harus saya
pelajari. Saya, terkadang masih sering bersembunyi dibalik tameng ‘saya bukan
orang Dompu’ hingga berharap bahwa orang-orang atau kelompok yang sedang saya
fasilitasi memaklumi bahasa yang saya gunakan.
Beberapa kali juga saya merasa kalau saya berbicara terlalu keras—baik
dari segi intonasi maupun suara. Tapi itu hanya terjadi sesekali, saat suasana
diskusi mulai agak ricuh dan terjadi perdebatan yang sengit.
Ya, saya pernah mengalami hal itu. Saat
memfasilitasi suatu kegiatan dan ada bahasan yang mungkin agak sensitif bagi
beberapa pihak, akhirnya mereka berdebat dengan sangat sengit. Apa ya
istilahnya? Sampai urat-urat lehernya terlihat, mungkin—walaupun yang berdebat
itu kebanyakan adalah ibu-ibu yang memakai jilbab, jadi sebenarnya urat
lehernya juga tidak kelihatan. Sempat muncul kekhawatiran bahwa setelah
kegiatan itu berakhir, akan ada perang antar warga sebagai kelanjutan dari
perdebatan dalam forum, namun untungnya sampai saat ini hal itu tidak pernah
terjadi. Semoga tidak akan terjadi sampai seterusnya.
:">
Materi yang menjadi bahasan dalam proses
memfasilitasi juga menjadi satu kendala tersendiri untuk saya. Terkait dengan
proyek yang berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan ibu dan anak, pastinya
mau tidak mau juga akan membahas tentang gizi. Namun kalau boleh saya
simpulkan, background pendidikan gizi
yang saya miliki ini, selain ada sisi positifnya, juga ada beberapa hal yang
berdampak negatif—walaupun sebenarnya bukan hal negatif yang membuatnya seperti
itu. Bingung? Oke, akan saya jelaskan sedikit.
Kalau sisi positifnya, pastinya ilmu yang saya
miliki baik yang berkaitan dengan gizi klinik maupun komunitas, sangat membantu
dalam menggali informasi dan merumuskan permasalahan gizi yang ada di
masyarakat, juga mencari solusi dari permasalahan itu. Namun, lagi-lagi
penggunaan bahasa yang menjadi permasalahannya. Bahasa perkuliahan dan bahasa
sehari-hari sangat berbeda. Seringkali saya merasa kesulitan untuk mencari
padanan kata dari bahasa-bahasa medis maupun bahasa asing, yang kemudian harus
diterjemahkan kedalam bahasa sehari-hari. Jika sudah membahas masalah gizi dan
pesertanya hanya diam saja tanpa berkomentar apapun, bisa jadi itu suatu
pertanda kalau saya harus mengulang apa yang saya sampaikan, dengan tempo yang
sedikit pelan, serta pemilihan kata yang lebih baik. Terkadang berhasil,
terkadang tidak. Tapi saya harus tetap berusaha untuk itu.
Hingga pada akhirnya, saya mendapat kesempatan
untuk menyimak penuturan seorang ahli gizi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu
dalam suatu kesempatan memfasilitasi. Beliau, pak Amin, yang juga merupakan
mitra tim proyek kami, bisa menjelaskan tentang ‘gizi’ dengan sangat santai,
sederhana, cepat, namun mengena di masyarakat. Pada saat itu saya hanya bisa
melongo, terpukau, dan kagum. Whaoww saja rasanya, materi yang pada sesi
kegiatan sebelumnya saya membutuhkan waktu seharian penuh untuk menjelaskan,
dengan difasilitasi oleh pak Amin hanya membutuhakn waktu tidak lebih dari dua
jam, dengan pencapaian dan tingkat pemahaman audience yang hampir sama. Angkat topi untuk ketrampilan pak Amin
dalam memfasilitasi. Ini salah satu contoh nyata, bahwa ketrampilan seorang
fasilitator akan sangat mempengaruhi proses memfasilitasi itu sendiri.
Selain kesulitan-kesulitan yang saya hadapi,
pastinya juga ada kesenangan-kesenangan tersendiri dalam kegiatan
memfasilitasi. Tidak jarang bersama para peserta, kami tertawa bersama saat
mengerjakan suatu hal, atau kadang juga saya menertawai diri saya sendiri
karena memperhatikan mereka berdebat dalam bahasa Dompu yang saya baru tahu
beberapa kata saja. Saya belajar banyak dari masyarakat Dompu, tentang masalah
gizi, kesehatan, juga kenyataan yang ada di masyarakat, yang kadang sangat
terasa timpang jika dibandingkan dengan kehidupan saya di Jawa. Mitos-mitos
yang berkembang di masyarakat juga menjadi satu hal menarik, yang entah mengapa
saya selalu senang menyimaknya.
Ilmu yang paling berharga adalah pengalaman. Saya memang belum memiliki banyak pengalaman, namun bukan berarti saya tidak bisa belajar dari pengalaman-pengalaman mereka.
si Ulil, Memfasilitasi Workshop BIAAG Campaign |
Beberapa hari yang lalu, saya dan teman satu tim
juga mengadakan kegiatan yang cukup besar, paling tidak lebih besar
dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya yang hanya dihadiri oleh
beberapa belas orang. Acaranya memang hanya dua hari, namun full time dari pagi hingga sore.
Ditambah lagi, kami berdua (saya dan Ulil)
memutuskan untuk menerima tantangan dari ibu Officer, untuk memfasilitasi penuh
kegiatan tersebut. Ibu Officer yang sangat baik hati itu hanya duduk manis
didepan laptop, mengamati proses sambil menuliskan notulensi, sedang saya dan
si Ulil bergantian menjadi fasilitator. Dua hari yang sangat menyenangkan,
sekaligus melelahkan. Namun entah kenapa rasa lelah itu tidak saya rasakan saat
menjalani proses memfasilitasi. Hanya pada saat kegiatan sudah berakhir, saya
merasa berada dalam kondisi yang sangat lelah. Sempat bercerita pada seorang
teman, kalau saya ingin mengeluh lelah. Namun keluhan tersebut saya sampaikan
dengan cara yang menyenangkan.
Aneh, tapi begitulah yang saya rasakan. Saya ingin
mengeluh lelah, tapi saya menyukai prosesnya, bahagia menjalani semua tugas-tugas
yang harus saya selesaikan, namun tetap saya tidak bisa membohongi diri sendiri
kalau saya sangat lelah. Hmmm… Apakah ini yang disebut dengan, “Bekerja
dengan hati…?”, saat melakukan suatu hal yang sangat kita sukai dan
tidak merasakan lelahnya, hingga akhirnya hal itu selesai kita kerjakan, dan
hanya kebahagiaan yang tersisa, selain lelah yang masih meraja lela.
Kurang
lebih sama rasanya
Seperti
saat diri ini sudah berdiri di tanah tertinggi
Bongkahan
batu besar dan pasir tak lagi membatasi jarak pandang dan langkah kaki
Lelah
yang teramat sangat menjadi tak berarti
Saat
kesempatan untuk menikmati samudera langit kembali mendatangi
Kalau saya ditanya, “Kamu, sudah sampai mana …?”
Mungkin saat ini baru berani saya sampaikan, saya sedang meyakinkan diri untuk
masuk ke dalam taraf hidup berbahagia. Semoga suatu saat bisa mencapai ke taraf
hidup bermakna, saat bukan lagi hal-hal yang bersifat duniawi yang menjadi
orientasi. Sulit, namun bukan berarti tidak mungkin..
;)
Anyway,.
Selamat
datang Ramadhan. Selamat melaksanakan puasa dan ibadah lainnya untuk saya dan
kamu-kamu yang menjalankannya. Semoga Ramadhan tahun ini bisa lebih baik dari
yang telah lalu, dan malam kesebelas nanti tidak akan berlalu begitu saja.
Aamiin..
Pertanyaan iseng:Lalu, apa beda fasilitator, moderator, dan presentator...? Ada yang bersedia menjawab..? Hihi :p
wah nice posting ka =D
ReplyDeleteTerimakasi Gia.. :)
DeleteBermanfaat nih ilmu tentang fasilitatornya. Paling gak kalau gabung di NGO2 gitu, udah ngerti kira2 gambaran kerjaan di bag.fasilitatornya seperti apa.hehe :D
ReplyDeleteAnyway, bisa jalan2 ke beberapa daerah di Indonesia menjadi bonus tersendiri disamping tanggung jawab pekerjaan. Pengen juga deh kayak gitu ;)
Alhamdulillah kalau memang bisa bermanfaat. Senang dengarnya nih sist :)
DeleteHahaha.. Yaa yaa.. Itu salah satu bonus yang amat sangat saya syukuri hingga saat ini :D
Zupper menjadi seorang fasil di NGO.,
ReplyDeleteMbk kalo blh tahu mslh gizi di daerah dompu apa y mbk??:D
hihi.. Mario Teguh mode: on :D
DeleteMasalah gizi di Dompu masih banyakk, terutama berkaitan dengan gizi kurang dan buruk. Perilaku masyarakatnya juga masih banyak yg belum PHBS.. Daan lain sebagainya. :)
Hmmm kalau di tempatku kayaknya sekarang sudah 'menggalakkan' istilah dosen gak lagi menjadi 'pengajar' saja tapi lebih ke fasilitator... aku yo ra mudeng deng...
ReplyDeleteWahh wahh,. terobosan baru tuh Una. Coba diperhatiin deh. Pasti beda. Dan lebih enak kalau 'fasilitator',. :D
Deletemohon maaf lahirbatin ya kak :3
ReplyDeleteSama-samaa,. mohon maaf lahir batin jugaa :D
Deletefasilitator itu yang bisa getar-getar
ReplyDelete*ituvibrator
hwehehehe (^_^)v
Hahhaa,,, makasih kakak, :-D
ReplyDeleteTetap keren ah *dibangding nganggur *plaaak
Dicerna pelan2 deh, :-)
Yeeee.. Ga rela saya dibandingin ama nganggurr :( *jitakkk*
DeleteSip. Cernanya pelan2 aja. Kunyah 32 kali yaa.. ;)
saya bangga sekali melihat photo itu..
ReplyDeleteTerimakasih kakaakk :">
Deletejadi fasilitator itu seperti mc dan pembawa acara, iya kan :p
ReplyDeleteEnggaaaaakk.. Beda bangett mas Arioo.. *harus diluruskan nih kayaknya. Hmm
Deletejadi jangan terlalumenggurui ya kalau menjaidseorang fasilitator
ReplyDelete:-bd betul banget mbak Lid,.
DeleteKarena fasilitator bukan guru
numpang nyimak dlu mbak,,,
ReplyDeleteagak suli dicerna... hehehe
Silakan.. silakaann.. :)
Deletewuiiih hebat kak (y) jadi pengen. kapan ya saya bisa bermanfaat buat orang lain? hhehe
ReplyDelete"Saya ingin mengeluh lelah, tapi saya menyukai prosesnya, bahagia menjalani semua tugas-tugas yang harus saya selesaikan, namun tetap saya tidak bisa membohongi diri sendiri kalau saya sangat lelah. Hmmm… Apakah ini yang disebut dengan, “Bekerja dengan hati…?”, saat melakukan suatu hal yang sangat kita sukai dan tidak merasakan lelahnya, hingga akhirnya hal itu selesai kita kerjakan, dan hanya kebahagiaan yang tersisa, selain lelah yang masih meraja lela." << mungkin bisa dikatakan seperti itu kak. hmm tulisannya inspiratif sekali :)
Mulai dari sekarang mbak,. mulai dari hal2 sederhana saja. Pasti bisa ;)
DeleteTerimakasiiihh :">
fasilitator.. agak kurang paham juga saya dengan istilah ini. Cuma yang sering agak familiar dengan telinga saya adalah 'pendamping'. Entahlah, mungkin berarti sama atau berbeda. Tapi melihat contoh pak amin yang sangat pandai sebagai fasilitator, memang disini terlihat bagaimana pengalaman yang berbicara. Yah.. dengan pengalaman nanti mbak Mae akan lebih terbiasa lagi dengan penggunaan kata-kata yang lebih membumi.
ReplyDeletePendamping ya? Kalo menurut pemahamanku pribadi, fasilitator tidak sama dengan pendamping mas. Cuma bingun juga penjelasannya seperti apa :D
DeleteAaamiiinn.. Makasii doanyaa :D
jawaban iseng
ReplyDeletefasilitator, : penyedia fasilitas
moderator, : pengawas
presentator, : penyampai dalam presentasi
follback : mampir balik ,follow balik, hehe ;)
Ahahaha.. Mantabb jawabannya.. makasiii :-bd
Deletesemoga kelak bisa menjadi fasilitator unggulan yang selalu bekerja dengan hati...semoga d bulan suci Ramadhan ini kita semua memperoleh ampunan-NYA..selamat berpuasa..mohon maaf lahir batin
ReplyDeleteAaamiiin,. terimakasih doanyaa :D
DeleteMohon maaf lahir batin juga dans elamat berpuasaa :D
1 jam terpaku didepan leptop memperhatikan dan membaca dengan seksama postingan ini, hahhhahaha #lebay. tapi bener, khusyu' banget dhe bacanya mae, padahal biasanya kalo udah sepanjang ini dhe langsung klik close.. wakakakakkkakka
ReplyDeletealhamdulillah, postingan panjangmu gk sia-sia.. dhe ngerti maksud fasilitator tapi kalo disuruh menjelaskan ulang dhe bakal langsung kibarin bendera putih.. *LOL!
marhaban ya ramadhan mae.. maaf lahir batin yaa :)
:o Satu jam??? Ga sampe kelupaan puasanya kan Dhe?? Hahaha...
DeleteAlhamdulillah, kalau memang bisa dimengerti. Senang dengarnya :">
Sipp. Sama sama Dhe. Selamat berpuasa yaaa :D
salut dg sampean dhek. Salut pada pengabdiane sampean. *applause*.
ReplyDelete.
Waw! Jd smpean uda ngerasain kerjaan yg sesuai dg passion. Itu bagian yg aku suka. Saat rasa suka mengalahkan lelah.
Aduh aduh,. berasa apa aja nih pake di tepokin segala. Hihi.. Makasiii mas Ronceeee :">
DeleteYap,. Alhamdulillah. Semoga bisa tetap istiqomah seperti ini. Walaupun kadang terasa capek banget, tapi semoga hal itu ga akan sampe bikin saya nyera. :)
kenapa gak sekalian di ikutkan kedalam kontes mengajar sampoerna.. ?
ReplyDelete:o Kontes mengajar sampoerna?? Ga pernah dengar
DeleteDi Komunitas Lubang Jarum juga ada fasilitator :)
ReplyDeletefasilitator kaleng :D
Whowww.. Mantabb.. :-bd
DeleteSeneng ya bisa bersama masyarakat memajukan bangsa melalui gizi.
ReplyDeleteAku masih rada bingung yang jadi audience itu siapa yaaa?
Pak lurah, pak RT, atau pegawai puskesmas atau orang tau (Warga)
Audience nya, bergantung evennya kak. Bisa internal tim sendiri, sesama staf, masyarakat terdiri dari perangkat desa, kader posyandu, anggota karang taruna, remaja putri,. siapa aja. Disesuaikan dengan tujuan dan sasaran dari kegiatan masing masing :)
DeleteSalam kenal,, hmmm,, senang nya bisa mampir di blog seorang fasilitator,,, tetap semangaat ya di lapang!! :)
ReplyDeleteSiappp.. salam kenal juga mbak :)
Delete