Wisata Religi Arjuno (part 1)

Jalur pendakian Argopuro ditutup, cuaca buruk, rawan longsor, bla bla bla… rada’ males dengerin kelanjutannya. Intinya: planning ke Argopuro GAGAL TOTAL. Tapi masih tetep pengen naik gunung, jadi,.. putar haluan, ke Arjuno. Masalahnya ini pendakiannya agak berbeda, bukan jalur yang biasanya dilalui pendaki (sejauh ini baru ada 3, via tretes, lawang, dan cangar), melainkan jalur religi (ini bukan nama jalur resmi ya, cuma istilah yang kita buat sendiri aja ), yang pintu masuknya ada di daerah Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Sebagai informasi saja, karena jalurnya berbeda, peraturannya pun berbeda. Dua diantaranya yang kami tau, dalam suatu rombongan jumlah orangnya harus genap dan tidak diperkenankan memakai pakaian/celana yang berwarna merah. Mengapa bisa begitu?tak tahulah, hormati saja si empunya rumah. 
Berangkat jam 5 pagi, hari sabtu, bertepatan dengan natal tahun 2010. Aku, Ivan (a.k.a NgikNgok), Mas Abib, Rio (a.k.a Painyo) meninggalkan Sudimoro 1A (kosannya temen2 di Malang) naik motor, meluncur ke terminal Arjosari.

Setelah parkir motor, Alhamdulillah langsung dapet bis jurusan Surabaya. Sebenarnya gak harus jurusan Surabaya, yang kearah Probolinggo juga bisa, yang penting jalurnya melewati Purwosari. Ongkos bisnya Rp 4.000 @kepala. Di bis, ada kejadian luar biasa. Kami ber-4 bertemu dengan nenek-nenek yang ceritanya mau belanja di pasar Lawang. Sempat mikir juga, jauh banget belanjanya, prasaan di Malang pasar juga gak kurang deh. Dan setelah tanya-tanya ke bpk kondektur yang baik hati, nenek-nenek itu memang sering belanja di Lawang buat dijual lagi di terminal Arjosari, gituuuu. Cuma kenapa di Lawang, gak tau juga, bisa jadi karena harganya lebih murah, atau barangnya lebih lengkap, atau…pengen aja. Dan sempat ngeri waktu nenek-nenek itu mau turun dari bis. Lha wonk bisnya belum berhenti, beliaunya sudah berdiri di depan pintu. Ngeri banget, udah tua gitu, serem aja kalo nanti tiba-tiba jatuh. Tapi Alhamdulillah si nenek akhirnya bisa turun dari bis dengan selamat. Benar-benar wonder women. Hehe..

Tepat di per4an purwosari, kami turun. Harusnya bukan di situ turunnya, melainkan di depan kantor pegadaian Purwosari. Tapi, berhubung ada mobil polisi, dan tempat yang harusnya kami turun itu termasuk lokasi yang illegal untuk kendaraan sebesar bis berhenti, jadinya diterus-terusin deh sama bpk Supir sampai di pemberhentian selanjutnya (ya di per4an purwosari tadi), yang sebenarnya gak seberapa jauh juga dari kantor Pegadaian. Setelah itu, ngemper sebentar di depan Bank BRI, sambil nyari ojek. Setelah tawar-menawar, akhirnya bpk ojek setuju juga mengantarkan kami ke pos perijinan skaligus pos start pendakian Arjuno via jalur religi yaitu di desa Tambakwatu dengan ongkos Rp.10.000 @orang. Murah meriah euiy. Pas di jalan, sempat mampir beberapa kali di warung untuk beli garam, minyak, dan spiritus. Sempat merasa besalah juga sama bpk ojeknya, karena ternyata lokasi desanya lumayan jauh dan memakan waktu hampir ½ jam perjalanan dengan ongkos yang cuma segitu, tapi emang bpk-bpknya baik yah, jadi ya gak masalah. 

Sampai di desa, maunya ngurus perijinan, dengan ongkos Rp.2.500 @ kepala, tapi karena pos perijinannya tutup, jadinya gak pake ijin. Tapi bukan berarti kita pendaki yang illegal lhoh, karena sebelum berangkat juga kita sudah minta ijin ke warga sekitar, cuma gak formal aja gitu.

Sebelum berangkat, sempat berasa lapar. Tidak hanya aku, tapi kami semua. Coba cari-cari, siapa tau ada warung makan yang buka, ternyata tidak ada. O’oww.. sepertinya akan menjadi masalah. Karena aku, bakalan lelet banget jalannya kalau dalam kondisi dua hal, pertama ngantuk, yang kedua lapar, gawat!!! Akhirnya, untuk mengganjal perut kami putuskan untuk makan sebagian roti yang kami bawa sebagai bekal. Dan itu Cuma sedikit. Benar-benar sedikit.

Jam 7.10 kami putuskan untuk muemulai pendakian. Berdoa terlebih dahulu, mengucap salam kepada pemilik ‘rumah’, lalu berangkat.

Mas Abib jadi leader, dilajutkan Painyo, lalu aku, dan Ngikngok sebagai sweeper. Baru berjalan beberapa ratus meter, kami sudah disuguhkan dengan tanjakan yang luar biasa. Jalan setapak yang lumayan curam dan berbatu. Wewww,..sedikit ngedrop juga sebenarnya. Tapi untungnya Mas Abib bilang, kalau nanjaknya Cuma ini saja, nanti yang didepan sana lumayan landai, karena jalur yang kami lewati saat itu sebenarnya jalur kompasan (maksudnya bukan jalur yang resmi, tapi jauh lebih dekat dengan track yang sedikit menantang). Kenapa harus ngompas?karena jalur yang resmi bentuknya macadam. Dan aku, dia, mereka semua, amat sangat tidak menyukai jalur semacam itu. Gak alami banget. Kami mikirnya kenapa gak diaspal sekalian biar kendaraan bisa lewat.

Tidak lama setelah itu, akhirnya kita bertemu juga dengan jalur resmi, jalur utama, yang lumayan landai. Benar saja, jalurnya cukup rapi, cukup lebar, serta tanahnya agak merah dan basah. Terus mengikuti jalan, kami bertemu dengan cabangan, dan kami ambil jalur kiri. Jalur ini menyerupai jalur sungai,namun tidak ada airnya. Medannya berbatu-batu, namun agak landai. Setelah berjalan kurang lebih ½ jam, sampailah kami di Pos 1, yaitu Guo Onto Boego. Seperti namanya, di Pos ini ada semacam gua, dan ada sumber airnya. Beberapa orang kami lihat sedang melakukan ritual atau semacamnya, lalu ada juga yang mengambil air berjirigen-jirigen. Weww.. mulai berasa mistisnya. Setelah beristirahat dan mengambil beberapa gambar, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos 2.


Belum terlalu jauh dari pos 1, setelah melewati tempat penampungan air, jalur yang kami lalui berbelok ke kiri, meninggalkan jalur sungai yang kami lalui sebelumnya. Setelah itu, jalurnya berubah menjadi jalan setapak yang cukup lebar. Pemandangan yang kami lihat dari jalur ini luar biasa dan beranekaragam. Mulai dari sawah, hamparan pegunungan TNBTS, asap letusan Bromo yang menjulang ke langit, dan pemandangan dari atas Kabupaten Pasuruan. Kami juga menemukan beberapa rumah penduduk, serta yang istimewa adalah adanya air yang memancar dari pipa yang bocor—atau sengaja dibocorkan. Sempat meminum sedikit airnya yang jernih dan segar, cukup bisa menghilangkan dahaga setelah berjalan lama. Selain itu, jalan yang kami lalui juga bermacam-macam, ada yang sedikit berbatu, tanah merah yang licin, kerikil-kerikil yang rawan membuat orang terpeleset, dan juga jalan yang menyerupai tangga. Semakin lama langkah kami semakin gontai, perutku sakit, aku benar-benar butuh makan. Dan kami hanya bisa berdoa, agar di pos 2 nanti ada warung makan yang buka. Setelah satu jam lebih berjalan, akhirnya kami menemukan jalur berupa anak-anak tangga yang sangat rapi dan landai. Tangga-tangga tersebut sebenarnya terbuat dari tanah, hanya saja dibagian ujung diberi bambu agar tidak longsor. Melihat jalur anak tangga yang cukup panjang itu, sempat ngedrop juga. Tapi di ujung anak tangga, nun jauh disana, aku melihat dua buah gapura, yang hampir sama dengan yang ada di pos 1. Setelah itu mas Abib mengiyakan, kalau itu memang pos 2. Waahh,.. akhirnya sampai juga, walaupun sebenarnya masih jauh. Tapi paling tidak semangatku jadi muncul kembali. dengan sisa-sisa tenaga yang ada sambil menahan perih di lambung, akhirnya sampai juga di pos 2, yaitu pos Tampuono, atau nama lainnya Eyang Sekutreng.



Berbeda dengan pos sebelumnya, di Pos 2 ini situasinya lebih ramai dan lebih rapi. Ada beberapa pendaki yang hanya singgah sebentar untuk beristirahat, ada juga yang memang menyengaja ingin menginap di tempat itu, dengan berbagai kepentingan masing-masing tentunya. Di pos 2 ini, ada beberapa pondokan yang memang disediakan untuk mereka yang ingin menginap, ada juga warung makan, lalu tempat semacam pendopo yang setelah kami lihat kemarin ada beberapa sesaji disana, selain itu juga ada satu ruangan yang biasanya digunakan untuk sholat, gua kecil, serta satu bangunan lagi yang tertutup dan kami kurang mengerti apa, hanya saja kami tidak boleh kesana. Sebenarnya tidak jauh dari pos 2 terdapat semacam tempat pemandian atau sejenisnya, tapi kami tidak sempat kesana, karena khawatir waktunya tidak mencukupi.

Setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya kami menemukan juga warung yang menjual makanan. Tanpa pikir panjang, kami langsung menuju warung tersebut dan makan. Menunya nasi pecel dengan lauk telur ceplok dan tahu goreng. Alhamdulillah, nikmat sekali rasanya, walaupun dengan menu seadanya. Selesai makan, Painyo bermain-main dengan anjing si pemilik warung. Anjingnya lucu, tapi agak jaim waktu diberi makan. Namanya Bara. Kata yang punya, Bara memang tidak terlalu suka makan, kadang makannya hanya dua hari sekali. Tapi Bara tidak terlihat seperti anjing yang kurang makan kok. Hihi..


Sambil menunggu makanan dicerna di dalam usus, kami memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat lokasi pos 2. tidak terlalu banyak gambar yang kami ambil, karena setelah bertanya kepada tiga orang Bapak-bapak yang ada disana, ternyata boleh mengambil gambar jika secara umum atau keseluruhan, namun kalau diambil objeknya secara detail tidak diperkenankan. Selain itu, kami juga diberi informasi tentang banyak hal mengenai jalur religi Arjuno ini. Diantaranya, jika bertemu dengan sesama di jalan, maka salam yang diucapkan adala “Rahayu”, karena disana memang adatnya kejawen, disamping itu, pengambilan gambar juga perlu berhati-hati, dan sama sekali tidak diperkenankan jika dilakukan di sekitar pos Eyang Semar. Kami juga diberitahukan sedikit tentang konsep ketenangan batin, mengapa orang rela jauh-jauh pergi ke sana, berhai-hari bahkan berbulan-bulan, dengan tujuan yang beranekaragam pula, menyalakan dupa, berdoa, dan lain sebagainya. Sebenarnya jauh dilubuk hatiku masih banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan tentang hal ini, tapi setelah kupikirkan lagi, setiap orang memang punya hak sepenuhnya atas diri sendiri, termasuk tentang keyakinan, jadi terserahlah mereka ingin berbuat apa, kita hanya berkewajiban untuk menghormati hak tiap-tiap orang. Termasuk untuk hal yang satu ini.

Tepat pukul 10.30 kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, setelah sebelumnya membayar makanan, lalu berpamitan dengan Bapak-Bapak yang menemani kami mengobrol tadi. Belum jauh meninggalkan pos 2, kami langsung disuguhkan dengan jalur yang cukup menanjak, serta pemandangan hutan yang cukup lebat. Setelah berjalan sekitar 15 menit, sampailah kami di pos 3, yaitu pos Eyang Sakri. Di pos ini kami tidak menemukan seorangpun, hanya sebuah papan nama, serta sebuah pondokan yang tertutup rapat. Tidak ingin membuang-buang waktu, setelah beristirahat sejenak kami melanjutkan perjalanan kembali.

Dalam perjalanan dari pos 3 menuju pos 4, kami kembali disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa. Awalnya, kami kembali memasuki hutan, setelah di pos 3 sedikit terang karena terdapat tanah yang cukup lapang. Pepohonan yang rimbun dikiri dan kanan jalan membuat udara cukup sejuk, walaupun pada saat itu jam menunjukkan hampir pukul 11 siang. Setelah cukup jauh memasuki hutan dengan jalur yang menanjak dan berbatu, jalur yang kami lalui menjadi landai dan cenderung datar, seiring dengan mulai terciumnya bau dupa. Tidak lama setelah itu, kami melewati sebuah pondok berpagar yang sepertinya sudah lama tidak tersentuh. Sebenarnya dipagar terdapat tulisan, yang mungkin berisi tentang nama dari pondok tersebut. Namun karena tulisan yang dipakai menggunakan aksara jawa, jadi kami tidak bisa membacanya. Tapi seingatku, Bapak-Bapak di Pos 2 tadi sempat menyebut-nyebut tentang suatu pondok yang berada di tengah hutan. Mungkin memang pondok itulah yang dimaksud. Perlu berhati-hati saat melawati hutan ini, karena nyamuk hutannya sangat banyak dan besar.

Tanah merah yang cukup terjal, pepohonan, batu-batu besar dan kerikil, menemani kami sepanjang perjalanan. Setelah keluar dari hutan, kami kembali disuguhkan dengan hamparan perbukitan yang luar biasa indah. Cuaca yang cukup cerah menambah indah pemandangan siang itu. Sempat beberapa kali kabut melewati kami dan menghalangi pandangan, namun setelah itu cerah kembali. Kami bisa melihat diseberang sana, lekukan-lekukan di punggung bukit, jalan setapak yang menyisir tepiannya, hijau hijau dan hijau, luar biasa. Hanya bisa berucap syukur atas apa yang ada didepanku saat itu. Aku ingat, saat itu Ngikngok tiba-tiba berucap, “gunung yang sebegini indah, sebegini besar saja tidak pernah sombong, coba bandingkan dengan kita, manusia.. seandainya gunung bisa menyombongkan diri, pasti gunung akan pergi kemanpun, memamerkan keindahannya, sehingga kita tidak diberi kesempatan untuk menikmati keindahannya seperti ini. Tapi untungnya hal itu gak terjadi…”. Benar-benar luar biasa, dan yang aku ingat saat itu, dalam hati aku berucap juga, inilah yang aku cari, inilah yang aku rindukan, inilah bagian yang aku rasa telah hilang dari diriku.

Tidak jauh setelah melewati batuan terjal, kami bertemu dengan dua orang pendaki yang sedang beristirahat. Seorang laki-laki dengan tubuh besar, membawa carrier sangat besar, lalu satu lagi seorang ibu yang sudah cukup tua. Aku taksir usianya sekita 50an. Sempat terkesiap juga dapat menemukan sesosok ibu itu di ketinggian sekian ribu meter, dengan pakaian seadanya, sandal jepit, serta tas ransel berukuran sedang. Kami saling menyapa, dan langsung tercipta kehangatan saat itu juga. Setelah mengobrol beberapa waktu, ternyata pendakian ini sudah ke-7 kalinya dilakukan oleh ibu tersebut. Sungguh kami ber4 merasa sangat malu. Seorang ibu dengan santainya dapat mendaki gunung tersebut, tanpa ada perasaan lelah maupun putus asa. Bandingkan dengan kami yang sudah sedari tadi mengeluh saja. Ibu itu juga sedikit bercerita tentang apa yang beliau cari disini. Dan lagi-lagi jawabannya adalah ketenangan. Yah,.. ketenangan. Itulah sedari tadi yang kudengar, tidak hanya dari mulut ibu itu, tapi juga bapak-bapak yang kami jumpai di pos sebelumnya.

Wisata religi arjuno part one sampai disini. See u in next part,

Wisata Religi Arjuno (part 2)
Wisata Religi Arjuno (part 3)

Comments

Popular Posts