Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran
Wacana tentang tawuran belakangan ini sudah menjadi ‘santapan sehari-hari’ media. Jika kawan-kawan perhatikan, semakin sering saja informasi tentang kejadian tawuran diberitakan, mulai dari tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, hingga tawuran antar penduduk. Tak jarang juga dari kejadian-kejadian itu berhasil merenggut beberapa nyawa. Sedang kerugian materil sudah pasti tidak bisa dihindari.
Beberapa hari yang lalu, saat saya dalam perjalanan menuju Bandar Udara Sultan Salahudin Bima, sempat terjadi pemblokiran jalan tepat sebelum memasuki kawasan ibu kota. Belakangan saya mengetahui bahwa pemblokiran jalan tersebut lantaran tengah terjadinya bentrok atau tawuran antar warga. Aparat keamanan yang tak ingin korban tawuran meluas, akhirnya terpaksa menutup jalan raya lintas Sumbawa itu, kemudian mengalihkan arus lalu lintas ke jalan kecil. Usut punya usut, ternyata jika terjadi bentrok semacam itu, memang para ‘pelaku’nya tidak pandang bulu. Siapapun yang sedang melewati kawasan yang sedang terjadi bentrok, bersiap saja menjadi bulan-bulanan warga. Hingga saat beberapa hari kemudian saya melewati lokasi itu lagi, jalan tersebut sudah dibuka. Tawuran antar warga sudah selesai, dan menyisakan beberapa bangunan yang rusak parah baik karena dirusak dengan benda-benda keras, maupun gosong karena terbakar. Hanya perasaan miris yang tersisa saat menyaksikan pemandangan itu, sedang di kanan-kiri jalan masih terlihat beberapa aparat keamanan siaga, berjaga, khawatir tawuran susulan akan terjadi.
Itu baru satu contoh, dari sekian banyak tawuran yang terjadi. Lucunya, jika kita ingin mencari informasi tentang penyebab dari tawuran itu, terkadang masyarakat sekitar, atau bahkan pelaku tawuran itu sendiri kesulitan untuk mengungkapkan apa yang menjadi sebab-musababnya. Kalaupun ada, ternyata hal itu ‘hanya’ permasalahan satu-dua orang, atau kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Lantas, mengapa harus melibatkan orang lain hingga menyebabkan kerugian materil, bahkan menghilangkan nyawa seseorang?
Kebiasaaan menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara kekerasan (salah satunya dalam bentuk tawuran) sangat erat kaitannya dengan perilaku seseorang. Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga—sebagai lingkungan terdekat, berperan penting dalam pembentukan prilaku tersebut. Jika seseorang terbiasa menerima dan melakukan tindak kekerasan di dalam lingkungan keluarga, maka sangat mungkin hal tersebut juga diterapkan di lingkungan yang lebih luas, entah dalam pergaulan sehari-hari, dalam lingkungan sekolah, kuliah, atau komunitas-komunitas lainnya. Jika sudah berlabel ‘perilaku’, umumnya suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan tersebut sulit untuk dihilangkan, atau dirubah. Perlu digaris bawahi ya, sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Jadi, dibanding dengan mencari penyebab terjadinya tawuran (yang sangat mungkin tidak diketahui secara pasti) untuk menyelesaikan masalah, akan lebih baik jika perilaku masyarakat pelaku tawuran itu yang dibenahi. Perilaku yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, emosi yang tidak terkendali, serta keinginan untuk membuktikan bahwa individu atau kelompoknyalah yang terhebat.
Ada suatu metode atau strategi, yang disusun secara sistematis sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi atau merubah perilaku seseorang. Metode ini dikenal dengan nama “Behavior Change Communication” (BCC). Awalnya metode ini hanya diterapkan di bidang medis, namun belakangan semakin meluas, hingga menjadi suatu metode pendekatan yang seringkali diterapkan di masyarakat dalam usaha merubah perilaku untuk menyelesaikan atau mencegah terjadinya suatu masalah. Secara umum, metode ini terdiri dari beberapa step, mulai dari penyajian data, pengungkapan permasalahan-permasalahan yang terjadi serta dampak yang diakibatkan, hingga terjadi proses refleksi kedalam diri, kemudian terjadilah proses berpikir, hingga akhirnya menghasilkan suatu ‘kesepakatan tindakan’ yang merupakan perubahan ke arah positif dari tindakan sebelumnya yang pada proses refleksi diri dinilai kurang tepat. Sesederhana itu kah? Tentu saja tidak, karena pada kenyataannya, untuk memfasilitasi proses tersebut bukan perkara yang mudah, terutama jika dilakukan interpersonal (antar individu).
Sebenarnya, selain bisa diterapkan antar individu, metode ini juga bisa diterapkan melalui media dalam bentuk komunikasi massa. Dalam hal mencegah dan menanggulangi masalah tawuran, penerapan melalui media ini dapat dilakukan dalam bentuk talkshow dengan mengundang pembicara-pembicara yang pernah terlibat langsung dalam tawuran, baik sebagai pelaku maupun korban. Tidak bisa dipungkiri bahwa proses refleksi akan lebih mudah berjalan jika menghadirkan orang-orang yang memang memiliki ‘pengalaman’ terkait topik yang sedang dibicarakan.
Beberapa hari yang lalu, pernah juga ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta talkshow semacam itu. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pendekatan untuk merubah perilaku masyarakat dengan metode BCC. Namun yang perlu di tekankan, talkshow semacam itu seharusnya tidak hanya dilakukan sekali, hanya jika ada korban jatuh saja, melainkan dilakukan berulang-ulang secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu, karena semakin sering proses refleksi itu berlangsung, maka semakin besar kemungkinan ‘pemberian pengaruh’ itu diterima, diterapkan, hingga menjadi suatu kebiasaan di masyarakat.
Terlepas dari perubahan perilaku yang sebenarnya bisa dilakukan, tetap saja, akan jauh lebih mudah jika sejak awal, perilaku tersebut dibentuk dengan sebaik-baiknya. Bukankah, mencegah lebih baik daripada mengobati?
Beberapa hari yang lalu, saat saya dalam perjalanan menuju Bandar Udara Sultan Salahudin Bima, sempat terjadi pemblokiran jalan tepat sebelum memasuki kawasan ibu kota. Belakangan saya mengetahui bahwa pemblokiran jalan tersebut lantaran tengah terjadinya bentrok atau tawuran antar warga. Aparat keamanan yang tak ingin korban tawuran meluas, akhirnya terpaksa menutup jalan raya lintas Sumbawa itu, kemudian mengalihkan arus lalu lintas ke jalan kecil. Usut punya usut, ternyata jika terjadi bentrok semacam itu, memang para ‘pelaku’nya tidak pandang bulu. Siapapun yang sedang melewati kawasan yang sedang terjadi bentrok, bersiap saja menjadi bulan-bulanan warga. Hingga saat beberapa hari kemudian saya melewati lokasi itu lagi, jalan tersebut sudah dibuka. Tawuran antar warga sudah selesai, dan menyisakan beberapa bangunan yang rusak parah baik karena dirusak dengan benda-benda keras, maupun gosong karena terbakar. Hanya perasaan miris yang tersisa saat menyaksikan pemandangan itu, sedang di kanan-kiri jalan masih terlihat beberapa aparat keamanan siaga, berjaga, khawatir tawuran susulan akan terjadi.
Itu baru satu contoh, dari sekian banyak tawuran yang terjadi. Lucunya, jika kita ingin mencari informasi tentang penyebab dari tawuran itu, terkadang masyarakat sekitar, atau bahkan pelaku tawuran itu sendiri kesulitan untuk mengungkapkan apa yang menjadi sebab-musababnya. Kalaupun ada, ternyata hal itu ‘hanya’ permasalahan satu-dua orang, atau kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Lantas, mengapa harus melibatkan orang lain hingga menyebabkan kerugian materil, bahkan menghilangkan nyawa seseorang?
Kebiasaaan menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara kekerasan (salah satunya dalam bentuk tawuran) sangat erat kaitannya dengan perilaku seseorang. Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga—sebagai lingkungan terdekat, berperan penting dalam pembentukan prilaku tersebut. Jika seseorang terbiasa menerima dan melakukan tindak kekerasan di dalam lingkungan keluarga, maka sangat mungkin hal tersebut juga diterapkan di lingkungan yang lebih luas, entah dalam pergaulan sehari-hari, dalam lingkungan sekolah, kuliah, atau komunitas-komunitas lainnya. Jika sudah berlabel ‘perilaku’, umumnya suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan tersebut sulit untuk dihilangkan, atau dirubah. Perlu digaris bawahi ya, sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Jadi, dibanding dengan mencari penyebab terjadinya tawuran (yang sangat mungkin tidak diketahui secara pasti) untuk menyelesaikan masalah, akan lebih baik jika perilaku masyarakat pelaku tawuran itu yang dibenahi. Perilaku yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, emosi yang tidak terkendali, serta keinginan untuk membuktikan bahwa individu atau kelompoknyalah yang terhebat.
Ada suatu metode atau strategi, yang disusun secara sistematis sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi atau merubah perilaku seseorang. Metode ini dikenal dengan nama “Behavior Change Communication” (BCC). Awalnya metode ini hanya diterapkan di bidang medis, namun belakangan semakin meluas, hingga menjadi suatu metode pendekatan yang seringkali diterapkan di masyarakat dalam usaha merubah perilaku untuk menyelesaikan atau mencegah terjadinya suatu masalah. Secara umum, metode ini terdiri dari beberapa step, mulai dari penyajian data, pengungkapan permasalahan-permasalahan yang terjadi serta dampak yang diakibatkan, hingga terjadi proses refleksi kedalam diri, kemudian terjadilah proses berpikir, hingga akhirnya menghasilkan suatu ‘kesepakatan tindakan’ yang merupakan perubahan ke arah positif dari tindakan sebelumnya yang pada proses refleksi diri dinilai kurang tepat. Sesederhana itu kah? Tentu saja tidak, karena pada kenyataannya, untuk memfasilitasi proses tersebut bukan perkara yang mudah, terutama jika dilakukan interpersonal (antar individu).
Sebenarnya, selain bisa diterapkan antar individu, metode ini juga bisa diterapkan melalui media dalam bentuk komunikasi massa. Dalam hal mencegah dan menanggulangi masalah tawuran, penerapan melalui media ini dapat dilakukan dalam bentuk talkshow dengan mengundang pembicara-pembicara yang pernah terlibat langsung dalam tawuran, baik sebagai pelaku maupun korban. Tidak bisa dipungkiri bahwa proses refleksi akan lebih mudah berjalan jika menghadirkan orang-orang yang memang memiliki ‘pengalaman’ terkait topik yang sedang dibicarakan.
Beberapa hari yang lalu, pernah juga ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta talkshow semacam itu. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pendekatan untuk merubah perilaku masyarakat dengan metode BCC. Namun yang perlu di tekankan, talkshow semacam itu seharusnya tidak hanya dilakukan sekali, hanya jika ada korban jatuh saja, melainkan dilakukan berulang-ulang secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu, karena semakin sering proses refleksi itu berlangsung, maka semakin besar kemungkinan ‘pemberian pengaruh’ itu diterima, diterapkan, hingga menjadi suatu kebiasaan di masyarakat.
Terlepas dari perubahan perilaku yang sebenarnya bisa dilakukan, tetap saja, akan jauh lebih mudah jika sejak awal, perilaku tersebut dibentuk dengan sebaik-baiknya. Bukankah, mencegah lebih baik daripada mengobati?
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu:
Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran
Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran
semoga menang kontes
ReplyDeleteTerima kasih atas partisipasi sahabat.
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
semoga bsa menjadi kemanfaatan buat semuanya.
ReplyDeleteakhirnya ikutan juga ya, moga menang kontesnya di tutup besok hehe
iya bener banget mbak, lebih baik mencegah daripada mengobati. Membangun kapasitas diri sendiri adalah peran kecil yang bisa kita lakukan. Tapi memang berhubungan dengan massa tidak semudah mengatur 1 atau 2 orang. -Perlu dicatat bahwa yang dicetak miring bukan judul lagu-.
ReplyDeleteBtw semoga menang kontesnya ya mbak.
lagi demam postingan tawuran nih
ReplyDeletesemoga sukses ya kontesnya :)
harus terus selalu diinformasikan ya supaya bisa mencegah tawuran
ReplyDeletesukses yah buat awardnya.. :)
ReplyDeleteyah anamanya anak-anak, kak. kalo gak ada kegiatan yah mending tawir *ngawur
yang namanya tawuran mah ga ada untungnya ya..
ReplyDeletesemoga sukses ya kontesnya..
menurut yang terpenting adalah edukasi agama & moral,yang bisa mengatasi itu semua
ReplyDeletepenyelesaiannya hrs terus menerus di sosialisasikan ya.. jgn pas ada keadian br rame saling bicara, abis itu adem lagi..
ReplyDeletesemoga sukses dengan kontesnya dan bener, jangan baru pada rame pas kejadian dan setelahnya tenang kembali
ReplyDeleteKurang lebih cara mencegah dan menanggulangi tawurannya sama dengan kontestan lain, hehe....
ReplyDeleteMoga menang ya Mbak Mae :)
benci lihat orang tawuran, smp, sma, kuliah tawuran
ReplyDeleteBCC ndak semua orang bisa ngelakuin tapi semua bisa dilatih yaa mbak :D
ReplyDeleteWow inspiratif
ReplyDeletememang disayangkan belakangan ini tawuran semakin sering..
ckckck.
semoga ke depannya enggak ada lagid eh. amiiin...
Good luck GA nya
semoga menang ^^
Iya juga sih, baru baru ini denger dari temen. dia tawuran terkadang hanya masalah sepele juga. Tapi pernah denger terkadang dia ngelakuin juga karena memberontak karena sebab kasih sayang disekitarnya kurang, atau bahkan enggak ada.
ReplyDeleteDan denger lagi kadang juga sifat ego yang besar juga. bisa dari harga diri, atau masalah cewe.
Ya tuhan semoga tawuran tawuran dalam bentuk apapun itu dapat kau hilangkan, sedih juga ngelihat yang enggak bersalah ikut kenak imbasnya
Bersatu untuk indonesia~
jadi, jangan suka tawuran ya, nak :)) *jangan mentang2 darahnya O, hihi
ReplyDeletepenyebab utama timbulnya tawuran adalah dikarenakan rasa solidaritas. Namun rasa solidaritasnya itu yang salah, ya jelas salah orang rasa solidaritasnya mengakibatkan keributan dan merusak kenyamanan orang disekitarnya bahkan mengorbankan nyawa..
ReplyDeletewah miris liat banyaknya dampak negatif akibat terjadinya tawuran ini apalagi sampai kehilangan nyawa. Semoga tawuran bisa berhenti.
ReplyDeleteoh ya,
saya ngadain kontes menulis berhadiah kecil2an nih, infonya bisa dilihat diblog saya.
Ditunggu partisipasinya ya. :)
thanks
carameninggikanbadancepatalami.blogspot.com
mbak,, cari baju bekas di malang di mana yah??? :D
ReplyDeletewalaaaah, hari ini sumpah pemuda lho.. mosok masih ngebahas tawuran aja.. update dong mae, gamazoe aja udah update.. hahahahaha #sombong :P
ReplyDelete